@salimafillah
Suatu hari di pelataran Masjid kami; Ayahanda Ir. Abdul Kadir
Baradja', sesepuh dakwah di Surabaya dan pembina Yayasan Dana Sosial Al Falah
(YDSF) itu tetiba duduk menjajari saya sebakda acara pembukaan Setengah Abad
Masjid Jogokariyan.
Betapa hangat beliau memperlakukan para junior seperti kami,
mendudukkan diri dengan tawadhu' padahal apalah 'amal bakti kami dibanding
segala kiprah beliau selama ini. Dan saya lebih takjub lagi pada pemahaman
beliau akan lapis-lapis dakwah.
Dengan pena dan kertas buku tulis, beliau menggambar sebuah persegi
panjang lalu membaginya jadi dua dengan diagonalnya. Separuh bagian bawah
beliau arsir sehingga berwarna gelap. "Bagian putih ini adalah tingkat
pemahaman masyarakat kita pada Islam", ujar beliau, "Dan arsiran
hitam ini adalah anasir lain yang masih ada di benak dan hati mereka dari
selain Islam."
"Para da'i", lanjut beliau sambil menatap saya dengan
serius, "Ada yang di sini." Beliau menunjuk bagian yang nyaris penuh
putih dan hanya ujung kecil di pojok saja terarsir hitam. "Nah tugas yang
di sini ini nikmat sekali masyaaLlah. Jama'ahnya pada rajin ke Masjid. Tinggal
buat kajian rutin saja, mad'u-nya akan datang berjubel. Menyampaikan juga
tinggal sampaikan. Asal dalilnya shahih semua akan menerima, bahkan bersemangat
mengamalkan."
"Nah geser ke sini", beliau menunjuk ke bagian yang arsir
hitamnya kian membesar, "Ini tantangannya makin asyik. Perlu strategi dan
perencanaan untuk nantinya kian bisa membawa jama'ahnya ke tingkatan yang
paling atas tadi."
"Paling dahsyat kalau di bawah sini kan?", ujar beliau
menunjuk bagian yang nyaris semua gelap, hanya tersisa titik putih di ujungnya.
"Yang ini jangankan diajak mengaji, tahu bahwa ada ibadah yang namanya
shalat saja sudah mending. Ini dakwah di sini pasti awal tempatnya bukan Masjid
ini. Ya kan?"
Saya tertawa.
"Jadi dakwah itu ada tingkatan sesuai objek dakwahnya. Nggak bisa
yang di atas sini mengklaim yang paling besar nilai dakwahnya. Yang ironis apa
sekarang?"
Saya menatap beliau bertanya-tanya.
"Ini da'i yang di sini, suka meremehkan da'i yang di sebelah
sana. Ini da'i yang tugasnya di komunitas A, suka meledek da'i yang sedang
berkhidmah di komunitas Z. Sering terjadi. Padahal harusnya mereka saling
mengapresiasi. Saling support. Saling bersinergi. Kan tinggal kalau da'i
sebelah bawah sukses", beliau menunjuk bagian terarsir hitam lagi,
"Umpan tangkapkan binaan yang berhasil dientaskannya itu ke da'i di bagian
berikutnya, yang atasnya. Begitu seterusnya."
"Nah", ujar beliau, "Kalau seperti itu kan nggak bisa
main klaim siapa yang da'wahnya lebih afdhal. Semua da'i ini harus lillah. Dari
yang berjuang di masyarakat paling gelap hingga harus merangkul dengan berbagai
'amal sosial, harus main fiqh prioritas, harus menyatu sehingga kadang ada hal
tertentu yang perlu ditolerir dulu, -yang menurut da'i di sebelah atas sini
mungkin sudah masuk kemunkaran kecil-. Nah ini juga harus dihormati."
Obrolan kami berlanjut sembari saya terkenang sebuah kisah.
Lelaki itu menyipitkan mata diterjang terik. Kakinya tersaruk seok
dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan.
Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak
mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
Di pintu biara, Rahib ahli ‘ibadah itu menyambutnya dengan wajah
datar. Lisannya terus berkomat-kamit.
“Rahib yang suci”, kata si lelaki. Dia berhenti sejenak lalu mengunjal
nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu tersenyum setengah seringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh”, katanya, “Sebanyak
sembilanpuluh sembilan jiwa.”
Terbelalak sang Rahib nyaris tak percaya. Dia, seumur hidupnya,
barangkali membunuh semutpun takkan tega. Kini di depannya, duduk pembantai
manusia.
“Mungkinkah dosaku diampuni?”, lanjut si lelaki sambil menatap
harap-harap. Tangannya cemas menggariki sarung pedang yang dia pegang karena
grogi. Dia lalu menunduk menanti sabda.
Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tamp
[In reply to Salim A Fillah - Quotes Telegram]
ak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah
sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurat. “Membunuh satu
jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan.
Sembilanpuluh sembilan.. Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”
Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang
bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa
serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu
memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka
dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah
lelaki hina, najis, tak terampuni.
Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.
Maka sekali lagi syaithan mengalahkannya. Dalam detikan saja,
pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya jadi dua. Dan dia disergap
sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib
yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia
bergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik
hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak,
dia berlari. Terus berlari.
Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti
bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada.
Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.
Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang
dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan rahib yang
dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu
menerimanya dengan senyum tulus.
“Allah itu Maha Pengampun saudaraku”, ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu
pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan
menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang
selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang
baru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati
di perjalanan. Dan malaikat rahmatpun memenangkan perdebatannya dengan malaikat
‘adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah
negeri pertaubatan. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru
sejengkal. Maka Allah memerintahkan agar dia dibawa ke surga.
Dakwah, di semua tingkatannya, memerlukan ilmu; bukan hanya tentang
materinya melainkan juga siasat hingga keadaan mad'unya. Seperti dalam gambar
Ayahanda Abdul Kadir Baradja', di bagian yang diarsir tergelap, masih ada titik
putih. Ada kebaikan, meski kadang hanya kuncup kecil yang mengintip malu.
Maka kita belajar untuk menghargai kebaikan yang mengintip, atau
mentakjubi keshalihan yang kecil dan sederhana. Membiasakan hal ini sungguh
akan menjadi sebuah latihan jiwa yang berharga. Sebab ada tertulis, “Mereka
yang tak bisa menghargai yang kecil, takkan mampu menghormati yang besar. Dan
mereka yang tak bisa berterimakasih pada manusia, takkan mampu mensyukuri
Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar