Beberapa dasawarsa ke
depan, wajah Jerman lebih banyak mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel,
wajah Prancis lebih mirim Karim Benzema
Oleh: Salim A. Fillah
Tada pengambilan yang tak
ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar
Apa yang hari-hari ini
terjadi di Eropa, barangkali tak terbayangkan oleh laksamana-laksamana
penjelajah samudera, serikat dagangnya, para gubernur jenderal, dan raja-raja
serta pemerintahan mereka yang sejak lima abad lalu bersimaharajalela
mengangkuti berbagai hasil bumi dan sumber daya dunia timur. Semula rempah
sahaja; lalu emas dan perak, kopi dan gula, vanili dan jarak, barang tambang
dan minyak, bahkan manusia yang diperbudak.
Pada beberapa bangsa,
kebudayaan dan sejarahnya turut terenggut; peradabannya musnah.
Mari bayangkan benua jelita
yang nantinya dinamai Amerika, dengan penduduk asli yang sebelum kedatangan
Columbus, Vespucci, Cortez, dan Pizzaro diperdebatkan sejarawan dengan angka
mencengangkan; antara 12, atau 30, atau 50, atau bahkan 110 juta orang. Atau
lihatlah Australia, dengan Aborigin yang sebelum kedatangan James Cook dan
Flinders diperkirakan berada di kisaran 8 hingga 20 juta orang. Dan kini,
puluhan ribu saja sisanya.
Keganasan penjajahan barat
amat mengerikan.
Nusantara barangkali
termasuk yang beruntung. Ia bukan 350 tahun dijajah, melainkan tiga setengah
abad melawan penjajahan. Salah satu yang membuat bangsa ini bertahan tanpa
dapat dibantah adalah Islam. Atas berkat rahmat Allah, abad sebelum kedatangan
Magelhaens, D’ Albuquerque, dan Cornelis De Houtman adalah abad yang dipenuhi pekik
gelora syahadat secara hampir merata di Nusantara. Maka sebagaimana banyak
bangsa muslim lain di Afrika dan Asia, Islam telah menjadi ruh perlawanan yang
tak dapat dipadamkan oleh para penindas dari Eropa.
Tapi tentu saja, penjajahan
yang dirasakannya juga amat perih hingga ulu hati.
Barangkali melihat
negara-negara yang tergabung dalam persemakmuran Britania hari ini, ada yang
berkata, “Andai saja kita dijajah Inggris, bukan Belanda.” Tapi sesungguhnya,
nestapa yang ditinggalkan negerinya Richard The Lionheart bagi kita tak banyak
berbeda. Izinkan saya memberi contoh dengan bulan Juni 1812 yang kelam, ketika
bombardemen artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando
Kolonel Robert R. Gillespie menghancur-leburkan Benteng Baluwarti Yogyakarta
terutama di sisi utara hingga timur serta meremuk dan membakar bagian luas dari
kraton dan kota yang indah ini.
Sebakda itu, penjarahan
oleh Legiun Infanteri ke-14 (Buckinghamshire) dalam bulan Juli yang bahkan
melibatkan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, nyaris
menghabiskan semua hal berharga dari Yogyakarta; emas dan perak dalam jumlah
mencengangkan, pusaka-pusaka Kraton, naskah-naskah tak ternilai, aneka
perhiasan, bahkan sampai kancing baju Sultan Hamengkubuwana II yang terbuat dari
berlian tak luput dipreteli ketika beliau ditodong senjata di kiri, kanan, dan
belakang kepala sebelum dilucuti dan dibuang ke Penang.
Daftar itu akan sangat
panjang mendereti negara-negara Eropa masa kini dengan jajahan mereka dari
zaman ke zaman, bukan hanya dengan kisah perampasan tapi juga pembantaian.
Inggris punya 94 negeri dan wilayah jajahan, sementara Spanyol membentangkan
penzhalimannya dari ujung selatan Amerika hingga tengah dan seberang Pasifik.
Belanda mengangkangi Suriname di Amerika, Nusantara di Asia, hingga Afrika
Selatan; adapun Prancis, Italia, dan Jerman seakan berlomba mengeruk kekayaan
Afrika dan sebagian Asia Barat.
Dan hukum kesejarahan
berlaku; ke mana sumber daya mengalir dan mengendap menjadi kemakmuran, ke
sanalah berduyun-duyun manusia menuju.
Hampir lima abad lamanya
Eropa menumpuk sumber daya dari timur dan mengendapkannya menjadi
kristal-kristal kemilau yang mencahayakan peradabannya. Dengan kelimpahan itu
mereka membangun katedral menjulang, istana megah, jalan-jalan lebar, pelabuhan
besar, serta tentara yang ampuh. Dengan itu pula mereka menyusun filsafat,
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, dan berbagai nilai yang mereka
jajakan dengan semangat seakan ianya puncak keadaban insan; demokrasi,
liberalisme, dan sekularisasi.
Sementara itu di bentang
bumi dari Maroko hingga Merauke yang terrampok, gelap kian pekat setiap
harinya. Kemiskinan dan kebodohan yang diwariskan para penganiaya Eropa,
ditambah kepemimpinan penindas dari bangsanya sendiri yang masih mewarisi kelaliman
penjajah, pula perang saudara yang masih menjadi permainan sebagian kekuatan
Barat, lengkaplah sudah alasan berjuta manusia dari berbagai bangsa itu;
Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Turki, Lebanon, Suriah, Somalia, Ethiopia,
Nigeria, Afghanistan, Pakistan, India, dan Bangladesh, berbondong mereka hendak
berbagi ruang hidup dengan bangsa-bangsa Eropa yang moyangnya pernah
mencekikkan penindasan pada leluhur mereka.
Bukan. Ini bukan
pembalasan. Ini hanya gemericik arus orang yang secara alami membuntuti
derasnya aliran sumber daya yang menopang hidup ummat manusia sejagat. Para
penduduk Eropa yang merasa asli dapat menyebutnya pengungsi, atau imigran. Tapi
keberadaan mereka tak terelakkan.
Tiada pengambilan yang tak
ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar.
Kemudian kaum pendatang itu
jumlahnya tumbuh berlipat melampaui bangsa-bangsa Barat yang sayangnya justru
sedang bersorai meninggalkan lembaga pernikahan dan keluarga serta mengesahkan
perkawinan sejenis. Sebuah kekhawatiran atas peta kependudukan kian mencekam
Eropa. Barangkali, beberapa dasawarsa ke depan, wajah Jerman sudah lebih banyak
yang mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel, wajah Prancis lebih jamak
seperti Karim Benzema daripada Francois Hollande, begitu pula negara di
sekitarnya.
Warga Eropa sedang diuji
atas nilai-nilai yang mereka gemakan sendiri sejak Revolusi Prancis; kebebasan,
persamaan, dan persaudaraan.
Akankah nilai-nilai tentang
hak asasi bagi setiap insan, persamaan yang tak membedakan asal, warna kulit,
dan bahasa, juga persaudaraan kemanusiaan yang melampaui batas kebangsaan
menang di hadapan ego untuk mendaku “asli”, merasa “pribumi”, serta menganggap
mereka yang datang sebagai gangguan, ancaman, bahkan teror?
Tentu saja, kaum muslimin
sebagai bagian terbesar dari para pendatang itu juga harus menghadapi tantangan
dan menjawab ujian yang lebih rumit lagi. Prof. Tariq Ramadhan
mengistilahkannya sebagai bagaimana menjadi ‘Muslim Eropa’. Yakni muslim yang
teguh dengan tsawabit-nya, nilai dasar yang tetap sebagai muslim dalam ‘aqidah,
ibadah, dan mu’amalahnya; tapi mampu menyesuaikan yang mutaghayyirat,
nilai-nilai dalam ekspresi intelektual, sosial, dan kebudayaan yang sesuai
dengan lingkungan barunya di belahan bumi barat.
Bahkan dalam tuntutan
agamanya, kaum muslimin sudah seharusnya bukan hanya menyesuaikan diri;
melainkan datang untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dialami oleh warga
Eropa. Dan saya melihat itu, salah satunya, pada sesosok Imam muda di Newcastle,
Abdul Basith yang amat ramah dengan proyek Masjid Pusat Newcastle-nya yang
padat nilai dakwah dan program anak-anak muda yang didukungnya dalam IDC, Islamic
Diversity Center.* (BERSAMBUNG)
twitter Salim A Fillah @Salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar