@salimafillah
Sesekali hadir di majelis yang bukan biasanya kita datangi, barangkali
memberi kita satu sudut pandang atau fahaman baru yang berarti. Seperti yang
terjadi pada suatu hari di abad kedua Hijri.
Seusai menunaikan manasik, berkumpullah 3 'ulama ahli hadits dari
'Iraq. Mereka adalah Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad ibn Hanbal, dan Yahya ibn Ma’in.
Mereka menuju halaqah-halaqah di sekeliling Baitullah. Biasanya mereka menulis
hadits dari Sufyan ibn Uyainah dan Abdurrazzaq ash-Shan’ani, penyusun
al-Mushannaf.
Namun, di ambang pintu Masjidil Haram, pandangan mereka tertuju pada
suatu majelis yang diasuh oleh seorang pemuda berwibawa. Tampak seusia mereka,
pemuda itu duduk dengan anggun di kursi indah dan dikelilingi oleh begitu
banyak orang. Para penyimaknya ada dari kalangan muda dan tua, besar dan kecil,
kaya dan papa, pejabat maupun kaum jelata. Para hadirin itu bergantian dengan
tertib menanyakan berbagai macam persoalan kepadanya.
“Siapakah pemuda ini?”, tanya mereka. “'Alimnya Quraisy, Muhammad bin
Idris”, jawab seseorang.
Selama ini ketiganya memang mendengar namanya yang masyhur, namun baru
kali ini mereka melihatnya. Masih muda, menarik, dan penuh adab. Dari
ketiganya, Ahmadlah yang paling antusias dan bergegas mencari tempat untuk
duduk menyimak.
“Celaka kamu, duhai Ahmad,” tegur Ishaq, “Akankah kamu tinggalkan
majelis Sufyan ibn Uyainah dan para masyayikh lainnya demi pemuda ini?”
“Diamlah,” ujar Ahmad sambil berisyarat, “Jika kita tak mendapati
hadits Rasulullah dengan sanad yang dekat, barangkali masih mudah kita mengambilnya
dengan sanad yang lebih panjang. Tapi jika kita kehilangan lelaki ini, kita
mungkin takkan berjumpa dengan yang semisal dia selama-lamanya.”
Melihat kesungguhan Ahmad, kedua temannya pun ikut duduk.
Di antara mereka bertiga, adalah Yahya yang mengkhususkan dirinya
dalam penilaian terhadap para perawi hadits; apakah ucapannya dapat diterima
ataukah selayaknya ditolak. Kelak kepeloporan dan kepakaran beliau dalam ilmu
Al Jarh wat Ta’dil ini mendapat penghargaan yang tinggi. Hari itu, melihat sang
mu'allim muda, naluri penelitian dan telisiknya bangkit. Maka dia berkata, “Aku
akan mengujinya!”
“Aduhai,” sahut Imam Ahmad khawatir tentang ketaksopanan mereka, “Apa
yang akan kamu lakukan?”
“Akan kutanyakan tentang hadits Nabi, ‘Biarkan burung dalam
sarangnya!'”, tegas Yahya. “Adapun dirimu, apa yang kamu lakukan dengan hadits
itu?”, tegur Ahmad.
“Sepahamku,” Yahya menjawab, “Biarkan burung dalam sarangnya, yakni
pada malam hari.” Mendengar jawaban temannya itu, Ahmad tersenyum dan
menggelengkan kepala, sebab takwil itu sebenarnya berasal dari pemahamannya
semata. Melihat kedua kawannya bersitegang, Ishaq berkata, “Biarkan aku yang
menanyainya!”
“Wahai Mu'allim Muththalibi!”, panggilnya.
“Ya, wahai 'Alimnya negeri Khurasan!”, sahut pemilik majelis yang
ternyata mengenalinya sembari tersenyum ramah dan mengangguk tanda hormat. Lalu
Ishaq menanyakan tentang hadits itu. Yang ditanya tersenyum lagi dengan penuh
kerendahan hati.
“Aku mendengar bahwa sahabat kalian, Ahmad bin Hanbal,” ujarnya,
“Menakwilkannya sebagai, biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam
hari.”
Mendengar itu, Imam Ahmad merasa sangat malu. Beliau menunduk tersipu.
“Adapun aku,” sambung beliau, “Mendapatkan hadits itu dari guru kami,
Sufyan ibn Uyainah. Beliau membacakannya di tengah-tengah kami di majelisnya di
Masjid ini. Ketika itu, aku masih berusia kira-kira 10 tahun. Lalu ada
seseorang yang menanyakan maksud hadits itu kepada beliau."
"Mendengar soalan itu, beliau menggigil bagaikan burung yang
terjebak dalam badai. Beliau amat ketakutan dan menjawab dengan gemetar, ‘Demi
Allah, aku tak tahu apa maksud hadits ini. Ya Allah, ampunilah hambaMu yang
bodoh ini, yang tak mengerti apa yang dia katakan tentang sabda NabiMu!’ Beliau
mengulang-ulang kalimat itu dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin
membasahi tubuhnya.
Melihatnya, aku pun berkata, "Rahimakallah, ya Aba
Muhammad."
"Maka", lanjutnya, "‘Ibnu 'Uyainah menggamit tanganku
dan mendudukkanku di samping kursinya. Beliau
berkata, ‘Wahai anakku, engkau berasal dari Quraisy. Engkau adalah
bagian dari kerabat Rasulullah. Sungguh engkau lebih memahami tentang keadaan
orang Arab dan maksud sabda Nabi ini. Ajarilah kami apa maknanya!'”
Maka saat itu dengan penuh ta’zhim sang mu'allim membahas takwilnya.
Beliau berkata, “Dahulu orang Jahiliyah, jika hendak bepergian, maka mereka
meramal safarnya dengan Thiyarah, yakni menggunakan burung. Mereka menangkap
seekor burung, lalu melepaskannya lagi dengan terlebih dahulu membisikkan
mantra-mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, itu dianggap pertanda baik.
Kemudian mereka akan melangsungkan perjalanannya. Namun jika burungnya terbang
ke kiri atau ke belakang, itu dianggap pertanda buruk, sehingga mereka mengurungkan
atau menunda keberangkatannya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini, yakni tathayyur, masih dilakukan di
kalangan sebagian orang dalam Islam, maka beliau pun bersabda pada mereka,
‘Biarkanlah burung di dalam sarangnya. Berangkatlah pagi-pagi dengan menyebut
Asma Allah.'”
Semua yang hadir berdecak takjub dan memuji Allah akan ilmu Sang Guru.
Ishaq tersenyum puas pada kedua rekannya seraya berkata, “Demi Allah, andai
kita datang dari 'Iraq dengan berjalan kaki hanya untuk mendengar makna hadits
ini semata, sungguh kita tidak rugi sama sekali!”
Imam Ahmad mengangguk. Lalu beliau menyampaikan pujian dengan menukil
Surat Yusuf: 76, “Wa fauqa kulli dzī ilmin alīm.. Dan di atas setiap pemilik
ilmu, masih ada yang jauh lebih berpengetahuan. ”
Mu'allim itu, kita tahu, adalah Imam Asy Syafi'i. Inilah saat
perkenalan Imam Ahmad dengannya yang membuahkan persahabatan dan saling
berguru, lalu faidahnya terasa hingga zaman kita.
Beberapa waktu lalu, kami di Masjid Jogokariyan amat beruntung
dikunjungi oleh guru kami Ustadz Abu Nida' dan Ustadz Harun Ar Rosyid, yang
bersama sesepuh kami Ustadz HM Jazir ASP membincang banyak hal. Satu yang saya
ingat dari Ustadz Jazir saat itu, "Kultus dan fanatisme bisa muncul di
manapun. Maka berjumpa, bicara, dan bertukar pandangan antar kita di majelis
yang berbeda amatlah berharga."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar