By: Nandang Burhanudin
****
Saya tak terlalu
kaget dengan sikap BEM se-Indonesia yang "bocor halus" dalam
pembelaannya terhadap kepentingan rakyat. Tentu bukan canggihnya "nasi
bungkus" atau "sesajen istana" yang mebuat barisan mahasiswa
menjadi "merem melek" dan tak lagi mampu menjadi penyeimbang
kekuasaan rezim diktator "plongo-plongo". Namun lebih dari semua itu,
memang tak ada satupun ormas, orpol, hingga barisan kaum intelektual yang tak
tersentuh "tongkat sihir" intelejen.
Kita sebagai rakyat
hingga kini pun tak pernah siuman, bahwa kekuasaan Jokowi dari awal dan hingga
kini memang dikontrol intelejen. Jokowi sangat mirip dengan As-Sisi di Mesir,
hanya dengan cara dan metode yang berbeda. Jika di Mesir As-Sisi diberikan kebebasan
membunuhi seluruh rakyatnya sekalipun, ia tak akan "tersentuh" hukum
internasional. Jokowi pun sama. Apapun kebijakan yang merugikan atau aneh bin
nyeleneh, tak akan ada yang berani "mempermasalahkan". Mengapa? Sebab
semua celah, sudah disiapkan operasi supercanggih. Walau bisa berakibat pada
"penghilangan nyawa" siapapun yang mencoba mengungkit
"bigboss".
Jadi bila BEM
mahasiswa berasa intelejen, sangat wajar. Hal yang lumrah menimpa orpol, ormas,
bahkan LSM atau tokoh-tokoh tertentu yang sudah sering tampil di TV. Operasi
intelejen meliputi:
1. Rayuan materi
(beasiswa, modal, akses jabatan, jenjang karir).
Pemiskinan yang
sangat terstruktur, sungguh ampuh menaklukkan siapapun ..tanpa terkecuali.
Meraih jabatan di BEM, orpol, ormas, LSM itu hanya sesaat saja. Paling lama 1-5
tahun. Jungkir balik pun bekerja, tak akan menghasilkan apa-apa, selain peluh.
Coba sedikit pragmatis, siapapun kita akan termehek-mehek saat diundang
"ISTANA". Jika rezim "odong-odong" berkuasa 5 tahun, lumayan
bisa mengakses lalu misalnya saya masih tingkat 3 kuliah. Maka dipastikan
jenjang S-2 bisa ke LN dengan biaya negara. Jangan salahkan mahasiswa, toch
para senior yang di legislatif, yudikatif, eksekutif, NGO melakukan hal yang
sama.
2. Rayuan wanita.
Saya tak terlalu
heran jika ada orang yang "merasa terkenal" lalu mengeluarkan
statement aneh bin nyeleneh. Kini tidak lagi mengencingi air zamzam atau
Ka'bah. Bahkan ada yang berani melecehkan "Dzat Allah" sendiri. Bukan
curiga. Namun berdasarkan pengakuan Sayyid Quthb saat awal mendapatkan beasiswa
ke Amerika. Lebih dari 3 kali dalam perjalanan di kapal laut hingga di
penginapan, jebakan wanita itu hadir. Namun Sayyid Quthb di saat
"Jahiliyahnya" pun tak tergoda dengan jebakan betmen. Wajar bila saat
taubat, ia memilih tiang gantungan.
3. Ancaman pembunuhan
atau kriminalisasi.
Masih ingat Prof.
Baharudin Lopa, Hakim Saifuddin, Munir, hingga LHI. Pelenyapan nyawa adalah hal
lumrah. Sebab doktrin intelejen adalah: agen handlers atau "tuan si
pemberi perintah" adalah tuhan yang tak boleh tersentuh. Pelenyapan nyawa
pihak-pihak yang dianggap pengganggu, bagian dari tupoksi baku. Maka kita tak
boleh aneh, bila kriminalisasi LHI tidak berlaku untuk yang lain. Pun
sebagaimana pemeriksaan Gubernur Aher atas dugaan korupsi di GBLA tidak berlaku
kepada AHOK atau Jokowi. Mengapa? Sebab semua mengikuti arahan agen handlers.
Sudah ya. Cukup sekian. Khawatir saya diundang ke istana atau
sekolah yang saya rintis nanti disumbang bapak Jokowi, dan lantas saya pun
menjadi "penulis citarasa intelejen".
21 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar