HASIL dari
MENGAJI
@salimafillah
Betapa
agungnya ilmu, betapa hebatnya belajar, dan betapa mulianya mengajar.
"Menuntut
ilmu karena Allah adalah bukti ketundukan padaNya", ujar Sayyidina Mu'ad
ibn Jabal. "Mempelajarinya dari seorang guru adalah ibadah. Melangkah
menuju majelisnya adalah pembuka jalan surga. Duduk di tengah kajiannya adalah
Taman Firdaus. Membahasnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkannya adalah
tasbih. Menyampaikannya kepada orang yang belum tahu adalah shadaqah.
Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah."
Tapi di
setiap jalan keluhuran manusia, syaithan juga berjaga-jaga. Maka pada perkara
seindah mengajipun, kita sewajibnya waspada. Mari berhenti sejenak untuk
bertanya, ke mana buku yang kita baca, kajian yang kita cerna, dan ilmu yang
kita telaah ini membawa?
Apakah
mengaji ini membawa kita pada perasaan "Ana khairun minhu, saya lebih baik
daripada dia", hingga kita merasa paling berada di atas kebenaran, paling
berhak atas ridhaNya dan surga, lalu menganggap diri lebih utama dan memandang
sesama remeh dan hina?
Subhaanallaah;
yang seperti ini ada pendahulunya, dengan ibadah yang tak tertandingi di
mayapada, tapi ujungnya terlaknat sepanjang masa.
"Berkata
Iblis, 'Aku lebih baik daripada dia.." (QS Al A'raaf: 12)
Ataukah
mengaji ini membawa kita pada perasaan "Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa..
Duhai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri..", lalu kita
kian menginsyafi aneka kekurangan diri, merasa betapa lemahnya kita, betapa
mudah jatuh dalam alpa, serta betapa faqir akan ampunan dan rahmatNya?
Masyaallaah;
yang seperti ini ada pendahulunya, dimuliakan di atas para malaikat, dipilih di
antara semesta, menjadi bapak yang membawa keturunannya mewarisi bumi dunia.
Dia bermaksiat, tapi bertaubat, menjadikan cinta Allah padanya berlipat-lipat.
"Berkata
Adam dan Hawa, 'Duhai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.
Andainya Kau tak mengampuni dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk mereka
yang rugi." (QS Al A'raaf: 23)
Lalu apakah
mengaji ini membawa kita pada perasaan, "Innamaa utiituhu 'alaa 'ilmin
'indii.. Aku diberi segala kelimpahan ini karena ilmu yang ada padaku";
hingga kita menyangka kitalah makhluq paling utama, dengan titian hidup paling
gemerlap, dan sesama dengan berbagai deritanya adalah karena dosa mereka yang
lebih banyak atau ibadah yang lebih cekak?
Subhaanallaah,
yang seperti ini ada pendahulunya, dengan perbendaharaan yang kunci-kuncinya
tak dapat dipikul orang-orang perkasa, tapi terbenamnya dia ke bumi menjadikan
namanya abadi sebagai sebutan untuk harta temuan yang tergali.
"Berkata
Qarun, 'Sesungguhnya aku diberi segala kelimpahan ini disebabkan oleh ilmu yang
ada padaku.." (QS Al Qashash: 78)
Ataukah
mengaji ini membawa kita pada keinsyafan, "Haadzaa min fadhli Rabbi,
liyabluwani a asykuru am akfur.. Ini semata-mata adalah karunia dari Rabbku;
untuk menguji diriku apakah aku mampu bersyukur ataukah justru akan
kufur"; bahwa bertambahnya nikmat adalah juga kenaikan jenjang ujian yang
membuat kita harus kian peka menyembahkan kehambaan?
Masyaallaah
yang seperti ini ada pendahulunya, dialah raja dunia yang tak hanya berkuasa
atas manusia, tapi juga hewan, burung, jin, serta angin; tapi kerendahan
hatinya pada Sang Pencipta membuatnya menjadi buah bibir sejarah.
"Berkata
Sulaiman, "Ini semata-mata adalah karunia dari Rabbku; untuk menguji
diriku apakah aku mampu bersyukur ataukah justru akan kufur." (QS An Naml:
40)
Juga, apakah
mengaji kita membuat kita ingin diakui dan disebut-sebut dalam gelar megah,
seperti ucapan, "Innii Anal 'Aziizul Kariim.. Sungguh aku ini orang
perkasa lagi mulia"?
Subhaanallaah,
yang seperti ini ada pendahulunya. Lelaki yang tak menyangkal kejujuran Rasul
mulia, yang tahu benar kebenaran di pihak siapa, namun demi kepentingan dan
harga diri lebih memilih membutakan hati, memusuhi, dan binasa dalam api,
hingga Allah memuaskan siksa itu baginya dengan gelar yang dipilihnya. Pada Abu
Jahl dikatakan:
"Rasakan
'adzab ini, sungguh engkau lelaki perkasa lagi mulia!" (QS Ad Dukhaan: 49)
Ataukah
mengaji ini membuat kita kian merasa berhajat pada Allah, bersangka baik
padaNya, dan bersandar sepenuhnya hingga berkata, "Rabbii innii limaa
anzalta ilayya min khairin faqiir.. Duhai Rabbku, sungguh aku terhadap apa yang
Kauturunkan di antara kebaikan amat sangat memerlukan"?
Masyaallaah;
yang inipun ada pendahulunya, seorang yang sejatinya sungguh perkasa,
tepercaya, lagi mulia, yang di tengah takut, lelah, dan laparnya masih bisa
menawarkan bantuan pada sesama lagi sama sekali tak meminta terimakasih dan
balasan dari mereka. Cukup Allah baginya.
"Berkata
Musa, 'Duhai Rabbku, sungguh aku terhadap apa yang Kauturunkan di antara
kebaikan amat sangat memerlukan." (QS Al Qashash: 24)
Kemudian
apakah mengaji ini membuat kita terjangkit keinginan menyingkirkan,
"Layuhrijannal a'azzu minhal adzall.. Sungguh orang mulia ini akan
mengeluarkan orang hina.."; sebab kita merasa lebih berhak atas apa-apa,
mana-mana, atau sesiapa di dalam perlombaan yang semu maupun yang nyata?
Subhaanallaah;
yang inipun ada pendahulunya, bagai pokok kayu tersandar, memikat bicaranya,
mempersaksikan isi hatinya dengan sumpah bermadah, tapi sebenarnya hatinya
luka, penyakit tumbuh di sana, permusuhan dinyalakan apinya, kejahatan dibalut
sutra, dan dia mengira tiap teriakan keras ditujukan padanya.
"Berkata
'Abdullah ibn Ubay ibn Salul dan pengikutnya, 'Jika kita kembali ke Madinah,
maka sungguh orang mulia ini pasti akan mengeluarkan orang hina itu." (QS
Al Munafiqun: 8)
Ataukah
mengaji menjadikan cita kita sederhana tapi penuh kerendahan hati,
"Tawaffanii musliman, wa alhiqnii bish shaalihiin.. Ya Allah, wafatkan aku
sebagai seorang muslim yang berserah diri, dan himpunkan aku bersama
orang-orang yang shalih"; merasa tak pantas menjadi orang shalih, hanya
karena rahmat Allah maka teranugerahi nikmat dihimpun bersama mereka.
Masyaallaah,
yang inipun ada pendahulunya, seorang bernasab terbaik, yang lika-liku hidupnya
dalam Al Quran dikisahkan sebagai cerita terbaik, dengan pengisahan terbaik.
"Berkata
Yusuf putra Ya'qub putra Ishaq putra Ibrahim, 'Ya Allah, wafatkan aku sebagai
seorang muslim yang berserah diri, dan himpunkan aku bersama orang-orang yang
shalih." (QS Yusuf: 101)
Dan apakah
mengaji ini menjadikan kita suka berkata, "Maa uriikum illaa maa araa, wa
maa ahdiikum illaa sabiilar rasyaad.. Aku tidak mengemukakan kepadamu melainkan
apa yang kupandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang
benar"; sebab ilmu yang dikhazanahi membuat kita merasa mengetahui segala
hal padahal ia nafsu diri?
Subhaanallaah;
yang seperti ini ada pendahulunya, abadi sebagai puncak kesombongan manusia,
menjadikan diri sebagai tuan maha tinggi, lalu menganggap dia berhak memaksakan
mana yang benar dan mana yang batil.
"..Berkata
Fir'aun, 'Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik;
dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar." (QS Ghaafir:
29)
Ataukah
mengaji ini membuat kita mampu menghargai bahkan si kecil dalam perintah Allah
yang mutlak sekalipun, "Ya Bunayya, innii araa fil manaamii annii
adzbahuka fanzhur madzaa taraa.. Duhai putraku, kulihat dalam mimpi perintah
Allah untuk menyembelihmu, cobalah kemukakan apa yang jadi pandanganmu";
yakni sepenuh hati memahami bahwa agama harus tegak di atas pemahaman dan tiada
manfaat untuk memaksakan pengertian kita yang sungguh keshahihannya jauh
dibanding mimpi di atas.
Sungguh
inipun ada pendahulunya, seorang Kekasih Ar Rahman yang lulus terus dalam
berlapis-lapis ujian cinta. Dia meyakini perintah Rabbnya, tapi betapa
berharganya musyawarah dengan siapapun yang terdampak perintah itu.
"Berkata
Ibrahim, 'Duhai putraku, kulihat dalam mimpi perintah Allah untuk
menyembelihmu, cobalah kemukakan apa yang jadi pandanganmu." (QS Ash
Shaaffaat: 102)
Semoga Allah
membimbing ilmu kita, belajar kita, mengajar kita; agar mengaji ini membawa
kita menyusuri jalan cahaya Adam, Sulaiman, Musa, Yusuf, serta Ibrahim; bukan
lorong gelap Iblis, Qarun, Abu Jahl, 'Abdullah ibn Ubay, serta Fir'aun.
"Dan
katakanlah hai Muhammad, 'Duhai Rabbku, tambahkanlah padaku ilmu." (QS
Thaaha: 114)
Lokasi:
Rumah Guru kami Ustadz Abdullah Sholeh Hadhrami, hafizhahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar