RUMAHKU,
MADRASAHKU
(Sari Kajian
Keluarga, bersama Ustadz Salim A. Fillah)
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Saya ikut
tercengang, waktu ustadz menyampaikan hasil survei kecil-kecilan yang beliau
lakukan pada keluarga aktivis di Yogyakarta tahun 2005 lalu. Salah satu hal
yang beliau survei adalah para anak-anak dari keluarga aktivis tersebut. Dan
hasilnya, 30% dari seluruh sampel menyatakan harapannya, kelak jika sudah
dewasa mereka tidak ingin mengikuti jejak orangtuanya (menjadi aktivis dakwah).
Melihat
hasil survei yang begitu “menyakitkan” tersebut, ustadz pun memfollow-up dan
melakukan kontak intensif dengan narasumber.
Salah satu
contoh kecil saja, tentang kepulangan. Bagi anak-anak, saat-saat yang paling
dinantikan adalah berada di pelukan kedua orang tuanya. Namun, masih banyak di
antara kita yang ternyata semangat luar biasa saat mau aktivitas ke luar, namun
lesu saat pulang ke rumah. Bahkan sekadar menyambut pelukan anak-anak yang
antusias menunggu bapak atau ibunya pulang saja, mereka enggan. Apatah lagi
saat diajak main, apatah lagi saat diminta gendong dan seterusnya.
“Abaaaaah!!”
teriak seorang balita begitu tahu abahnya pulang dan berjalan memasuki rumah.
Tapi, alangkah mirisnya. Jawaban yang diperoleh si anak justru, “Nak, abah
capek. Abah tadi habis ngisi kajian ini-itu, sekarang mau istirahat. Tolong
main sendiri dulu ya.” Dan si anak akhirnya kembali masuk rumah dengan lesu dan
penuh kekecewaan. Dan itu terjadi tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Bahkan mungkin setiap hari.
Poin
pertama: kepulangan. Pulang, seyogyanya menjadi momen paling indah dalam
rangkaian kegiatan harian kita. Tidak hanya bagi para ayah atau ibu yang
beraktivitas di luar rumah. Namun juga bagi anggota keluarga yang lain, yang
berada di rumah, menunggu. Bukankah kita pun mengharapkan kepulangan yang indah
berjumpa dengan Rabb kita? Kenapa dengan anugerah-Nya, nikmat berupa keluarga,
kita tidak mengupayakan kepulangan terbaik? Rasulullah saw sudah mencontohkan.
Bagaimana beliau sibuk aktivitas di luar rumah, namun dalam kondisi terbaik
saat pulang ke rumah. Pun saat pasukan Muslim hendak memasuki kota Madinah
setelah berperang, beliau menyuruh pasukan tersebut bermalam dulu dan merapikan
badannya. Sebab, kondisi badan terbaik itu hak Allah dan hak keluarga. Saat
pulang pun, Rasulullah langsung memeluk istri dan anak/cucunya. Bahkan juga tak
jarang langsung bermain-main dengan Hasan dan Husain, cucu beliau dari Fatimah.
Masya Allah!
Poin
pertama: pulang. Jadikan kepulangan sebagai momen terbaik bagi seluruh anggota
keluarga. Bagi para suami, jangan lupa berikan senyum terbaik saat memasuki
rumah. Bagi para istri, sambut kepulangan suami dengan kondisi terbaik. Jangan
sampai justru sebaliknya, saat hendak pergi dengan kondisi terbaik, dan saat
pulang lesu tak bersemangat. Na’udzubillah.
Selain
masalah kepulangan, hal selanjutnya yang menjadi sorotan yaitu persepsi anak
tentang ajaran agama. Pernah suatu ketika ada yang datang dan berkonsultasi
dengan Ustadz Salim. “Ustadz, anak saya usianya sudah 10 tahun lebih kok susah
banget ya disuruh sholat?” tanya seorang ibu. Usut punya usut, si ibu sudah
mulai mengajarkan sholat bahkan sejak usia 2 tahun.
Namun bukan
itu yang menjadi pokok permasalahan. Pengenalan ibadah (khususnya sholat)
menjadi hal yang begitu menyeramkan. Betapa ibu ini langsung berubah menjadi
monster di saat sholat. Saat anak menaiki punggungnya, menarik-narik mukenanya,
berisik di kanan kirinya, itulah momen yang membuat si ibu naik darah. Anak
yang belum paham apa-apa itu dimarahinya, bahkan tak jarang dicubitnya.
Rasulullah
saw bersabda, “Ajarkan anak sholat di usia 7 tahun, pukul ia (jika melawan)
saat usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidurnya.” Hal yang perlu kita
renungkan. Mengapa Allah dan Rasulullah memberikan batasan pengajaran sholat
MULAI umur 7 tahun? Kenapa tidak 3 tahun, atau bahkan 2 tahun? Kenapa lama
sekali harus menunggu 7 tahun? Ternyata, jawabannya ada di surat Lukman. Allah
mengabadikan nama Lukman Al-Hakim dalam Al-Qur’an karena bijaknya beliau
mendidik anak.
Dalam surat
Lukman ayat 12-17, kita bisa sarikan tentang tahap-tahap mendidik anak, yakni:
1.
Menanamkan kesyukuran
2.
Menanamkan tauhid (tidak menyekutukan Allah)
3.
Menanamkan muraqabatullah (rasa dekat dengan Allah)
4.
Mendirikan sholat
Hal yang menarik.
Kenapa mendirikan sholat ada di urutan terakhir pada tahapan di atas? Tidak
lain karena tugas berat kita, bahkan yang telah diterapkan oleh generasi awal
Islam, adalah mengajarkan 3 hal ke anak. Yakni rasa syukur, tidak menyekutukan
Allah, dan muraqabatullah. Ini berat, sangat berat. Perlu waktu
bertahun-tahun. Dan Allah memberi
tenggang kepada kita sampai umur 7 tahun.
Pertama,
menanamkan kesyukuran kepada Allah. Pengajaran syukur tidak sekadar mengajarkan
anak mengucap alhamdulillah. Akan tetapi syukur yang sebenarnya syukur. Dimulai
dengan penanaman konsep diri ke anak sejak bayi. Bahwa kehadirannya merupakan
nikmat tak ternilai dari Allah lebih dari apapun. Berada di sisinya menyejukkan
kalbu. Bercanda dengannya adalah demikian menyenangkan. Bahwa seluruh anggota
keluarga adalah qurrota a’yun (penyejuk mata) bagi anggota keluarga yang lain
harus diupayakan. Jangan justru hal yang menyejukkan mata kita dari bangun
tidur hingga tidur lagi ialah gadget. Na’udzubillah.
Kedua,
menanamkan tauhid (tidak menyekutukan Allah). Mengajarkan kepada anak tentang
tauhid ini sungguh hal yang luar biasa berat. Salah-salah, kita bukannya
membuat anak mengesakan Allah, namun justru malah menjadikan anak takut kepada
“marahnya kita waktu mengajarkan tauhid”. Atau juga terjadi, saking semangatnya
kita mengaitkan Allah dalam keseharian anak kita, namun tidak pada tempatnya.
Sebagai contoh, saat anak “mengganggu” orang sholat, kita langsung meradang,
sambil bilang, “Nak, nggak boleh begitu, Allah nggak suka.” Atau saat anak
berisik di pengajian, kita menegurnya pula dengan bilang, “Nak, Allah nggak
suka itu. Jangan berisik ya.” Niat kita bagus, menegur anak dan mengaitkan
Allah pada segala hal yang “buruk”. Namun dampaknya justru seringkali tertanam
dalam diri anak, bahwa Allah itu Maha Tidak Suka. Padahal sebenarnya, kitalah
yang tidak suka dengan perbuatan anak kita tersebut. Alih-alih mengajarkan
tauhid, kita malah melenceng tanpa sadar dari ketauhidan itu sendiri
(dikarenakan menyandarkan sesuatu yang Allah larang tidak pada tempatnya, tidak
ada dalil pastinya). Dan, terkait kondisi si ibu tadi, bahwa setiap anaknya
“mengganggunya” sholat, ia marah, meradang, bahkan mencubit, itu juga tidak
dianjurkan. Tanpa sadar, kita justru sedang mengajarkan bahwa ibadah itu menyebalkan,
mengganggu masa-masa bermain anak. Padahal, teladan terbaik kita, Rasulullah
saw sangat lembutnya pada anak-anak. Hatta saat beliau sedang sholat. Ingatlah,
bagaimana beliau mengimami sholat sambil menggendong Umamah, anaknya Zainab
binti Muhammad. Ingatlah, bagaimana beliau melamakan sujudnya karena
punggungnya ditunggangi Hasan bin Ali. Untuk urusan pengajaran ibadah, beliau
saw sangatlah lembut.
Sebaliknya,
untuk urusan makanan yang masuk ke perut, beliau tegas. Harus yakin
halal-haramnya dulu. Fenomena yang terjadi justru terbalik. Kita sangat tegas,
bahkan cenderung menakut-nakuti, saat mengajarkan ibadah pada anak, namun
melunak dalam soal makanan. Jajan misalnya. Itu terbalik ya ibu-ibu,
bapak-bapak…!
Ketiga,
muraqabatullah atau kedekatan kepada Allah. Amalan kita, sekecil apapun,
seberat zarrah (biji sawi) sekalipun, akan dihisab di hadapan Allah. Pun
perbuatan buruk kita, sekecil apapun, juga tak luput dari perhitungan-Nya. Ini
juga sangat penting kita ajarkan kepada anak. I
alah
menjalin kedekatan dengan Allah.
Dan yang
keempat, barulah aqimissholah, mendirikan sholat. Puncak dari rasa syukur,
mengesakan Allah, dan muraqabatullah, tidak lain dan tidak bukan ialah
ringannya kita beribadah kepada Allah.
Oleh
karenanya, Allah memberi tenggang waktu kita, tujuh tahun, untuk mengajarkan 3
hal tersebut sebelum pada waktunya diajari sholat. Ini PR kita bersama. Jangan
sampai kita terlalu bersemangat mengajarkan anak-anak sholat, namun lalai
mengajarkan rasa syukur, tauhid, dan muraqabatullah.
Jangan
sampai kita hanya terfokus pada gerakan dan bacaan sholat anak, namun abai
terhadap 3 poin tersebut.
Dan
selanjutnya, pada masa anak mulai diajarkan sholat di usia 7 tahun, dan lebih
tegas lagi di usia 10 tahun. Boleh dipukul jika anak lalai di usia itu. Namun
tetap, pukulan yang tidak menyakiti. Adapun setelah anak diajari sholat,
ajarkan pula konsekuensi sholat. Bahwa sholat itu (hendaknya) mencegah kita
dari perbuatan keji dan munkar. Wallahu a’lam bish showwab.
*** Catatan:
Artikel di atas ini adalah sedikit di antara sekian banyak hikmah yang saya
dapatkan dari kajian keluarga bersama Ustadz Salim A. Fillah dalam sepemahaman
saya. Jadi mungkin akan ada sedikit perbedaan persepsi antara saya dengan para
peserta kajian yang lain.
Catatan
tambahan: insyaallah tanggal 7 Mei 2016, bertempat di Masjid Kotabarat,
Surakarta, ada tabligh akbar dan parade tauhid bersama Ustadz Mu’inuddinallah
Basri, Ustadz Salim A. Fillah, Ustadz Felix Siauw, dan Ustadz Yusuf Mansur.
Informasi selengkapnya insyaallah segera menyusul.
telegram.me/salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar