OBSESI 7
ABAD & KETERJAJAHAN KITA
@salimafillah
Obsesi tujuh
abad itu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 21 tahun usianya.
Tak
sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin
membeningkan hati dan jiwanya. Dia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa
yang layak menanggungnya. Dia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak
mengembannya.
Maka di
sepertiga malam terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu dia tegak di atas
mimbar, dan meminta semua pasukannya berdiri.
“Saudara-saudaraku
di jalan Allah”, ujarnya. “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya
yang terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat
Rasulullah ﷺ telah menggerakkan para mujahid tangguh,
tapi Allah belum mengizinkan mereka memenuhinya. Kini kita harus memilih insan
terbaik pula untuk memimpin semua."
"Aku katakan
pada kalian sekarang, yang pernah meninggalkan shalat fardhu sejak balighnya,
silakan duduk!”
Begitu
sunyi. Tak seorang pun bergerak.
“Yang pernah
meninggalkan puasa Ramadhan silakan duduk!”
Andai
sebutir keringat jatuh ketika itu, pasti terdengar. Hening sekali, tak satupun
bergerak.
“Yang pernah
mengkhatamkan Al Quran melebihi sebulan, silakan duduk!”
Kali ini,
beberapa orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.
“Yang pernah
meninggalkan puasa Ayyaamul Bidh, silakan duduk!”
Tinggal
sedikit yang masih berdiri, dengan wajah yang sangat tegang, dada berdegup
kencang, dan tubuh menggeletar bagai meriang.
“Yang pernah
meninggalkan Qiyamullail, silakan duduk!”
Kali ini
semua terduduk lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan
sendiri. Namanya Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah
Konstantinopel.
Saya
menziarahi makamnya beberapa waktu lalu, menyampaikan terimakasih dari ummat
ini atas kegemilangannya mewujudkan obsesi ummat yang berumur tujuh abad. Tentu
pula saya memohonkan kepada Allah semoga Dia mengampuni dosa-dosa hambaNya,
Muhammad ibn Murad, menyayanginya, memberikan 'afiyah, dan memaafkannya.
Sebab selain
Rasulullah ﷺ, tiada manusia yang tak luput dari
kesalahan. Terlebih pula yang tak dia sengaja.
Muhammad Al
Fatih, dan nanti dikukuhkan oleh putranya Bayazid II telah mengambil sebuah
keputusan yang berdampak bagi sebuah jazirah berjarak ribuan mil dari
takhtanya. Jazirah itu adalah Nusantara. Dan keputusan itu adalah menutup
Bazaar Rempah-rempah di Konstantinopel yang telah menyandang nama baru,
Istanbul.
Ini tentu
karena Genoa dan Venesia. Dua negara kota Italia inilah penyokong utama Kaisar
terakhir Byzantium, Konstantin XI Palaelogos. Genoa mengirimkan Giovanni
Gustiniani, sang ahli pertahanan kota sementara Angkatan Laut Venesia sebelum
pembangunan Rumeli Hisari dan Anadolu Hisari pernah menjadi kesulitan terbesar
Muhammad Al Fatih.
Genoa pula,
dan terutama Venesia adalah pembeli utama rempah-rempah dari dunia timur di
Konstantinopel yang menjadikan mereka sebagai transito akbar tempat para
tengkulak berbelanja rempah untuk dijual kembali hingga ke Eropa Barat.
Jatuhnya Konstantinopel dan penutupan Bazaar Rempah telah mematikan perniagaan
kedua kota itu.
Akibat lebih
jauhnya adalah dimulainya penjelajahan samudera oleh bangsa-bangsa Eropa Barat
untuk mencari negeri asal rempah-rempah. Nama-nama Bartholemeus Diaz, Vasco Da
Gama, Alfonso D'Albuquerque, Christopher Columbus, hingga Ferdinand Magelhaens
dan Juan Sebastian De'l Cano lalu menghiasi sejarah kita karena kepeloporan
Spanyol dan Portugis. Lisabon menjadi pasar dunia, disusul kemudian Amsterdam.
Dan mimpi
buruk Nusantara kitapun dimulai.
Jadi selain
menghadiahkan para da'i yang menjadi kunci Futuhat Nusantara seabad sebelumnya,
Daulah Turki 'Utsmaniyah, meski secara tidak langsung, tanpa sengaja, dan bukan
faktor tunggal; juga memberi kita para penjelajah samudera dari Barat yang
kerakusannya melampaui tujuan awal mereka menemukan negeri rempah. Sejak
D'Albuquerque mencaplok Malaka, lalu Pieter Both bersama Jan Pieterszon Coen
menduduki Jayakarta, 350 tahun kita berdarah-darah dalam jihad melawan
penjajah.
Bagaimanapun,
'Utsmani selalu ada dala m penghormatan dan harapan Nusantara seperti
ditunjukkan Kesultanan Aceh Darussalam hingga Kesultanan Mataram. Maka kini
setelah kita adil memandangnya dengan menyingkirkan puja yang terlalu,
barangkali ini saatnya menguatkan hubungan Republik Indonesia-Republik Turki di
berbagai bidang.
Turki sudah
Mantan pemimpin peradaban Islam; jika ia bertugas menjadi Mentor, tak
bersemangatkah kita untuk menjadi Calon?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar