WARISAN
KATA-KATA
@salimafillah
Di dalam Al
Quran, Allah sering menyandingkan sesuatu yang berkebalikan untuk menajamkan
pemahaman kita akan hakikat dan makna. Seperti ketika Iblis mewariskan ucapan,
“Ana khairun minhu.. Aku lebih baik daripada dia”, maka Adam justru punya
kalimat, “Rabbana zhalamna anfusana.. Duhai Rabb kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri. Dan seandainya Kau tidak mengampuni dan mengasihi kami,
niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Iblis adalah
makhluq yang gagal menyikapi keberhasilan. Sujud ibadahnya di masa lalu,
ketekunan penghambaannya yang mengangkatnya ke alam malakut dengan kedudukan
tinggi di antara para malaikat membuatnya merasa lebih mulia, dan karena itu
merasa berhak untuk tak mentaati Allah dalam perintah sujud pada Adam yang
belum lama dicipta.
Adapun Adam
adalah hamba yang berhasil menyikapi kegagalan. Atas godaan syaithan dia
melakukan pelanggaran, tapi hatinya yang tunduk tertuntun pada pertaubatan.
Betapa ‘merasa lebih baik’ menghapus semua kebaikan, dan ‘merasa berdosa’ juga
menjadi pembuka ampunan. Demikianlah perasaan dan hakikat sering berkebalikan,
sehingga merasa salah lebih baik daripada merasa shalih, dan merasa kotor lebih
selamat daripada merasa suci.
Sulaiman,
‘Alaihis Salam, adalah juga nama agung yang kisahnya mengilaukan zaman. Bukan
karena kekayaan dan kemaharajaannya yang menundukkan jin serta manusia, burung
dan aneka satwa, serta angin dan Negeri Saba’. Tapi bersebab ucapannya yang
dipenuhi kesadaran paripurna, tentang hakikat limpahan karunia Allah padanya.
“..Ini
semata adalah karunia dari Rabbku, untuk menguji aku apakah aku akan bersyukur
atau justru kufur. Dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia tak lain
bersyukur bagi kebaikan dirinya. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS An Naml [27]: 40)
Betapa berat
menjadi Sulaiman. Perintahnya ditaati oleh semua yang dapat mendengar suaranya.
Suaranya dapat disampaikan menembus jarak. Jarak dilipat baginya dengan angin
yang berarak. Fir’aun yang merasa Nil mengalir di bawah kakinya, Mesir dalam
genggamannya, dan Bani Israil menjadi budaknya saja tak tahan dari mengucap
kalimat warisannya, “Akulah Rabb kalian yang paling tinggi”. Maka bagiamanakah
dengan Sulaiman yang lebih berhak untuk jumawa?
Dari mereka
kita tahu, kesombongan tak pernah berasal dari kelebihan yang dimiliki.
Keangkuhan adalah buah dari jiwa yang kerdil dan wawasan yang sempit.
Sulaiman
mewariskan kesyukuran, kesadaran, dan kewaspadaan. Syukur untuk mensujudkan
diri pada Sang Pencipta di setiap nikmat, yang kebaikannya kan kembali pada
diri. Sadar bahwa segala yang dimilikinya tanpa kecuali semata-mata hanyalah
karunia. Dan waspada bahwa setiap karunia itu hakikatnya ujian yang kan
memperlihatkan kesejatian dirinya, sebagai hamba yang bersyukur ataukah hamba
yang kufur.
Meloncat ke
satu surat setelah An Naml yang banyak mengisahkan kiprah Sulaiman, kita akan
berjumpa dengan tajuk Al Qashash yang menyinggung sebuah nama bersejarah
lainnya. Qarun. Lelaki dari kaum Musa yang perbendaharaan hartanya begitu
banyak, hingga kunci gudang penyimpanannya pun tak sanggup dipikul beberapa
lelaki kuat.
“Qarun
berkata, ‘Hanyasanya harta itu diberikan kepadaku, disebabkan atas ilmu yang
ada padaku..” (QS Al Qashash [28]: 78)
“Alangkah
indah tafsir yang dikemukakan oleh Imam ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam”, ujar
Ibn Katsir dalam Tafsir anggitannya, “Yakni ketika menakwil ayat ini. Beliau
mengatakan bahwa Qarun hendak menyatakan, seandainya bukan karena keridhaan
Allah padaku dan pengetahuanNya tentang keutamaanku, niscaya Dia takkan
memberikan harta ini padaku.”
Betapa
mantap cara berpikir Qarun yang mengaitkan antara kelimpahan dengan kepandaian.
Betapa kokoh percaya dirinya bahwa kelebihannya termasyhur di langit. Betapa
besar keyakinannya atas cinta Allah pada pribadinya. Bahkan menurut Imam
Qatadah, maksud Qarun dengan “ilmu yang ada padaku” adalah “karena kebaikanku”.
Tapi
keyakinan yang setitik melampaui batasnya adalah kenaifan menyedihkan.
Mukmin
sejati senantiasa hidup dalam gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.
Orang-orang yang tertipu seperti Qarun salah mengira bahwa dikaruniai harta
adalah disebabkan kemuliaan diri, lalu pula sesat menduga bahwa bergelimang
dunia adalah tanda dicintai Rabb Yang Maha Pemberi.
Dia telah
diperingatkan, bahwa sebelum dirinya sudah banyak orang-orang yang lebih kuat
dan lebih banyak mengumpulkan harta, namun pula akhirnya binasa. Dan sungguh
orang berdosa tak usahlah ditanya tentang dosanya. Karena besarnya, karena
banyaknya, karena seringnya.
Ketika Qarun
dan istananya dibenamkan, orang-orang yang semula dengan penuh semangat
menginginkan apa yang dimilikinya tiba-tiba berada dalam keinsyafan agung yang
mencekam jiwa mereka.
“..Aduhai,
benarlah Allah melapangkan rizqi bagi siapapun yang dikehendakiNya di antara
hambaNya dan menyempitkannya. Kalau saja Allah tidak melimpahkan karunia
petunjukNya atas kita, benar-benar kita telah dibenamkan pula. Aduhai benarlah,
tiada kan beruntung orang-orang yang mengingkariNya.” (QS Al Qashash [28]: 82)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar