MELEPAS
SEPATU
@salimafillah
Terkadang
dalam perjalanan, kaki perlu direhatkan dengan melepas sepatunya. Salah satu
adegan melepas sepatu yang paling melekat di benak saya adalah ketika Zhuge
Liang diantar Lu Su memasuki balairung Sun Quan di Wu Timur.
Tentu ini
bagian dari film 'Red Cliff' garapan John Woo (2008) yang diadaptasi dari
cuplikan Kisah Tiga Negara itu. Dialog yang terjadi setelah Zhuge Liang melepas
sepatu adalah salah satu negosiasi paling cerdik dalam sejarah.
Pada tahun
210 itu, Dinasti Han sedang di ambang keruntuhan. Para pejabat dan kasim
berebut pengaruh. Kaisar Xian Di tak berdaya di hadapan Perdana Menterinya, Cao
Cao, yang menggunakan nama sang Kaisar untuk menghimpun kuasa, kekuatan, dan
kekayaan bagi dirinya. Tinggal Liu Bei, Paman jauh Kaisar dan Sun Quan, penguasa
Wu Timur yang belum takluk. Tapi Liu Bei baru saja mengalami kekalahan berat di
Xin Ye, maka para pembesar Wu Timur terbelah, antara para panglima yang hendak
melawan atau para penasehat yang mau bergabung dengan Cao Cao.
Zhuge Liang,
sang naga tidur yang bijak, penasehat kepercayaan Liu Bei itu datang ke Wu
Timur untuk membangun persekutuan. Dia melepas sepatunya yang berlumpur setelah
perjalanan panjang berhari-hari tanpa rehat dan mengibaskan jubahnya yang penuh
debu dengan anggun sebelum memberi salam pada Sun Quan. Para penasehat yang
memilih berdamai dengan Cao Cao menatapnya curiga sembari berkasak-kusuk,
sementara para panglima saling berbisik bahwa kedatangan Zhuge Liang adalah
pertanda baik.
"Tuan
Zhuge", sambut Sun Quan, "Kudengar pasukan Tuanku Liu Bei dilumat
hancur ke dalam lumpur oleh pasukan Cao Cao di Xin Ye.."
"Kekalahan
di Xin Ye", sahut Zhuge Liang sambil menjura tenang, "Terutama
disebabkan kemuliaan hati Yang Mulia Liu Bei. Beliau memerintahkan pasukannya
melindungi semua rakyat yang mengikuti beliau, sehingga gerak kami semua
menjadi lamban."
"Memangnya
seberapa besar kekuatan Cao Cao?"
"Delapan
ratus ribu pasukan", seru Zhuge Liang. Para penasehat terperangah dan
berseru panik. "Menyerang serentak dari darat, sungai, dan lautan."
"Kita
tak mungkin menang melawan Cao Cao!", ujar seorang pejabat. "Lebih
baik segera menyerah, bergabung dengannya", sahut yang lain. "Kalau
perlu kita tangkap orang ini dan juga Liu Bei, jadikan mereka hadiah
persahabatan untuk Cao Cao!"
"Pengecut
tak punya malu kalian", teriak seorang panglima di sisi seberang.
"Kalaupun harus kalah dari Cao Cao, kita akan beri dia pukulan yang pahit
dari kegagahan prajurit Wu!"
Sun Quan
menenangkan mereka yang berdiri saling tuding dalam tengkar. "Kalau memang
tak mungkin melawan Cao Cao", tanya Sun Quan, "Mengapa Liu Bei tidak
menyerah saja?"
"Menyerah
atau melawan", sahut Zhuge Liang, "Bukan hanya soal kalah menang. Ia
adalah tentang kejujuran jiwa dan kebijakan nurani." Dengan fasih sang
naga tidur mengutip Guru Kong Tze dan Meng Tze, membuat semua tertunduk malu.
"Jika
Tuanku Liu Bei memang harus kalah, barangkali itu takdirnya", kata Zhuge
Liang sambil terus mengatupkan jemari tanda hormat dan menekankan kata-katanya,
"Tapi bagaimana mungkin beliau akan menyerah dan mendukung seorang tiran?
Itu akan menjadi aib yang tak terampunkan." Mata Zhuge Liang melirik ke
arah para penasehat yang tersentak kena hunjaman kata-katanya.
"Tapi..",
tambahnya sambil berbalik dan mengibaskan kipas bulu elangnya, "Jika memang
Tuanku Sun Quan berfikir untuk menyerah, mohon lakukanlah segera. Ini akan
mengurangi rengekan orang-orang di ruangan ini dan siapa tahu.. Hhh.. Siapa
tahu Cao Cao tetap akan mempertahankan kedudukan Tuanku sebagai penguasa
Wu."
"Jadi
kaukira aku ini pengecut rendahan kalau dibanding Liu Bei?", labrak Sun
Quan di belakang Zhuge Liang. Sang naga tidur segera berbalik dan menjura
dengan ekspresi maaf dan menyesal.
"Bukan
demikian maksud hamba", runduk Zhuge Liang. "Selama tiga generasi
Keluarga Sun memerintah wilayah Wu yang luas dengan adil dan bijak,
menjadikannya sebagai daerah yang makmur dan sentausa. Ini saja sudah merupakan
keunggulan Paduka dibanding Tuanku Liu Bei. Maka sungguh jika kami dan Tuanku
menggabungkan kekua tan, Pasukan Cao Cao yang menindas rakyat itu pasti dapat
kita kalahkan."
"Lebih
dari separuh pasukan Cao Cao adalah tentara dari daerah taklukannya. Kesetiaan
mereka tak dapat diandalkan. Meski jumlahnya besar, mereka dipaksa untuk
berjalan puluhan Li dalam sehari. Mereka pasukan yang kelelahan. Terlebih,
daerah Wu yang didominasi Sungai Yang Tze tak dikenal dan akan mendatangkan
banyak kesulitan bagi mereka yang datang dari dataran Utara.."
"Yang
Mulia", pungkas Zhuge Liang, "Pasukan Cao Cao ini ditakdirkan untuk
hancur di Wu."
Sun Quan
segera terpikat oleh argumentasi Zhuge Liang, hingga para penasehat histeris
putus asa mencoba mencegah perang. Tapi keputusan itu baru akan meyakinkan
kalau didukung oleh ipar sang adipati, panglima tertingi Wu yang bernama Zhou
Yu. Dan kisah Zhuge Liang melobi Zhou Yu yang tak kalah menarik akan kita
ceritakan di lain waktu.
Ada satu
lagi cerita melepas sepatu yang amat dahsyat, dan ia terjadi di masa Tabi'in.
Saat itu,
Khalifah Bani 'Umayyah, Hisyam ibn 'Abdil Malik sedang menunaikan haji. Begitu
memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada para pemuka Mekah, “Carikan aku
seorang sahabat Rasulillah ﷺ.”
“Wahai
Amirul Mukminin", jawab mereka, "Para sahabat telah wafat satu demi
satu hingga tiada yang tersisa di antara mereka.”
“Jika
demikian", sahut Hisyam, "Carikan di antara ulama tabi’in!”
Maka
dipanggillah Thawus bin Kaisan Al Yamani.
Thawus bin
Kaisan datang, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu bertabik,
"Assalaamu'alaika Ya Hisyam!"
Ya, beliau
beruluk salam tanpa menyebut gelar “Amirul Mukminin”, bahkan hanya menyebut
namanya saja tanpa kuniyah ataupun laqab kehormatan. Kemudian beliau langsung
duduk sebelum Khalifah memberi izin dan mempersilakannya.
Hisyam
tersinggung dengan perlakuan ini, hingga tampak nyala kemarahan dari sorot
matanya. Baginya ini penghinaan nyata di hadapan para pembesar dan pengawalnya.
Sadar bahwa saat itu dia berada di Rumah Allah, dia tahan emosinya lalu
berkata, “Mengapa kau berbuat seperti ini wahai Thawus?”
“Memang apa
yang kulakukan?”
“Kau melepas
sepatu di tepi permadaniku, kau tidak memberi salam penghormatan, kau hanya
memanggil namaku tanpa gelar, lalu duduk sebelum disilakan.”
"Adapun
tentang melepas sepatu, bahkan akupun melepasnya lima kali sehari di hadapan
Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya kau tak perlu marah atau gusar. Adapun aku
tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar Amirul Mukminin, itu karena tidak
seluruh muslimin membai’atmu. Aku takut menjadi pembohong jika menggelarimu
dengan julukan yang tak sepatutnya."
"Apakah
kau juga tidak rela jika aku menyebut namamu tanpa gelar kebesaran, padahal
Allah memanggil nabi-nabiNya dengan nama mereka, 'Wahai Dawud, Wahai Yahya,
Wahai Musa, Wahai 'Isa'. Sebaliknya, Dia menyebut musuhNya dengan kuniyah dan
laqab kehormatan mereka; Abu Lahab dan Fir'aun misalnya."
"Adapun
mengapa aku duduk sebelum dipersilakan, ini karena aku mendengar Amirul
Mukminin 'Ali bin Abi Thalib berkata, 'Bila engkau hendak melihat seorang ahli
neraka, maka lihatlah seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya
berdiri.' Aku tidak ingin kau menjadi ahli neraka, maka kutemani engkau duduk.”
Khalifah
Hisyam lalu menghela nafas. "Nasehatilah aku wahai Aba 'Abdirrahman",
ujarnya.
"Aku
mendengar Amirul Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib berkata, 'Di neraka ada ular
sebesar pilar-pilar dan kalajengking sebesar rumah yang mematuk dan menyengat
tiap penguasa yang curang dan aniaya pada rakyatnya."
Semoga Allah
merahmati sang burung merak kebenaran, Thawus ibn Kaisan Al Yamani. Dia telah
mengamalkan keutamaan yang disebut Rasulullah ﷺ seperti
direkam Imam At Tirmidzi, "Jihad yang paling afdhal adalah mengatakan
kebenaran di hadapan pemimpin yang zhalim."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar