Tanah
Gersang
Dalam
hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan, setiap orang adalah guru bagi
kita.
Ya, setiap
orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat. Betapapun yang mereka
berikan pada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan dan aniaya,
mereka tetaplah guru kita.
Bukan karena
mereka orang-orang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar
untuk menjadi bijaksana.
Mereka
mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang belajar menjadi bijaksana. Kita
belajar untuk menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya dan rembulan
yang menghias malamnya.
Tetapi
barangkali, kita justru adalah tanah yang paling gersang. Lebih gersang dari
sawah yang kerontang. Lebih cengkar dari lahan kering di kemarau yang panjang.
Lebih tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus. Maka bagi kita sang
tanah gersang, selalu ada kesempatan menjadi murid yang bijaksana.
Seperti
matahari yang tak hendak dekat dekat bumi karena khawatir nyalanya bisa
memusnahkan kehidupan. Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma
lahan subur, sejuk menghijau berwujud hutan.
Dan seperti
batu cadas yang memberi kesempatan lumut untuk tumbuh di permukaannya. Dia
izinkan sang lumut menghancurkan tubuhnya, melembutkan kekerasannya. Demi
tercipta butir-butir tanah. Demi tersedianya unsur hara agar pepohonan berbuah.
(Salim. A.
Fillah, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar