Kartini,
Kerinduan pada Cahaya di Tengah Gulita
Menelusur
berbagai kajian tentang Kartini terkait hubungannya dengan spiritualitas dan Islam,
maka setidaknya kita akan menemukan empat sudut pandang;
PERTAMA: Bahwa Kartini adalah
seorang Jawa tulen yang sisi spiritualnya pun berkiblat pada apa yang disebut
sebagai Kejawen. “Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan
kebatinan", tulis Artawijaya dalam artikelnya untuk voa-ilsam.com,
“Gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling
kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan
sebutan "Bapak". Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan
istilah "Kebenaran", "Kebaikan", "Hati Nurani",
dan "Cahaya", seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
"Kebaikan
dan Tuhan adalah satu." (Surat Kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20
Agustus 1902)
KEDUA: Bahwa Kartini adalah
seorang pejuang perempuan yang gerak langkahnya diilhami oleh nilai-nilai
Islam. Mereka yang mempercayai pernyataan ini mengajukan bukti dengan mengutip
berbagai tulisan Kartini seperti berikut ini;
"Tiada
Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua yang
beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta." (Surat
Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang" (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 5
Maret 1902)
“Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah, Abdullah."
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan
kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami
dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan." (Surat Kartini kepada Nyonya
Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan
diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia.
Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada
Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya
bebas" (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
“Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai." (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang
Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa
yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan
mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" (Surat Kartini kepada
E.E. Abendanon, 31 Januari 1903)
KETIGA: Bahwa Kartini adalah
seorang yang sinkretis, pluralis, liberalis; banyak gagasan serta pemikirannya
yang dipengaruhi oleh aliran Theosofi, Freemasonry bahkan Yahudi. Tentu saja
mengutip tulisan Kartini, pernyataan ini juga tak kurang memiliki bukti;
"Ya
Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada
agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak
berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan
darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam
berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan
Yang Sama." (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November 1899)
"Agama
dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara
semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat,
perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang
itu, Tuhan yang Maha Esa!" (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli
1902)
"Sepanjang
hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan
untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi
Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat
hidup dengan kasih sayang yang murni. " (Surat kepada Ny. Abendanon, 14
Desember 1902)
"Ketahuilah
nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan
daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami;
mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan
kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya,
dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar,
barhasil dengan “obat tukang jamu". Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh
saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah
saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan."
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
"Kami
bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah
orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi
kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…" (Surat
Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
"Agama
yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai
Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain" (Surat kepada Ny. Van Kol, 31
Januari 1903)
"Kalau
orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka
Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik
Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain." (Surat kepada
E. C Abendanon, 31 Januari 1903)
"Ia
tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan
kita semua." (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
"Betapapun
jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu
tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan
sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah." (Surat Kartini kepada N.
Adriani, 24 September 1902)
"Orang
yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut
Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam
kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal
menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut
Theosofi." (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari
berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia
memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat
kami berpikir." (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September
1902).
KEEMPAT: Bahwa Kartini adalah sosok
yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang
menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Sepertinya ini adalah pendangan
kritis yang justru dilontarkan oleh para sejarawan meski dukungan buktinya
berupa praduga.
“Kartini
adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran
Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya,
bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung
Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang
Kartini yang "tercerahkan" dengan pemikiran Barat." (Harsja W.
Bachtiar, terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
"Tak
banyak memang "pahlawan" kita resmi atau tidak resmi yang dapat
menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian
besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah
"pahlawan" dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan tanpa
henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah.
Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah
ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah
kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?"(Taufik ‘Abdullah
terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
Analisis
Ringkas
PERTAMA:
Kartini adalah seorang yang kecewa atas kehidupan beragama kaumnya, yakni
muslimin Jawa. Ini ditunjukkan oleh beberapa tulisannya;
Mengenai
agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi
tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau
mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi
tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi
orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah
begitu Stella?" (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
"Dan,
sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam.
Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh
mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun
juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca
Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu
pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya.
Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan
saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam
buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka
saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana."
(Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
“Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan
apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya,
dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku
apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia
itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. (Surat Kartini
kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902)
KEDUA:
Kartini adalah seorang yang berpikiran maju dan pergaulannya luas.
Dalam
pergaulan itu, sahabat-sahabatnya yang orang Belanda tentu juga ada
bermacam-macam. Ada yang memang tulus hati, ada yang membawa misi sesuai keyakinan
yang dianutnya. Ridwan Saidi seperti terkutip dalam Gerakan Theosofi di
Indonesiamencatat, “Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi
dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya
Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye
untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran
Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh
lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang
dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore
van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang
Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai
Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan
yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah
wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain
sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social
Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Nama-nama
lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny
Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon),
dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi
Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan
kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun
dalam pandangan Kartini semua agama sama saja."
Tentu
saja, dalam sebuah pergaulan, saling mempengaruhi adalah hal tak terhindarkan.
Yang jelas, diperlukan telaah lebih lanjut sejauh mana mereka mempengaruhi alam
spiritual seorang Kartini. Sebab, Kartini pernah menulis dengan sangat
berwibawa:
“Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu
sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" (Surat Kartini kepada Ny.
Abendanon, 27 Oktober 1902)
“Kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang
setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan" (Surat Kartini
kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902)
KETIGA:
Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman mendalam akan
Islam, agamanya, dalam segala keterbatasan dan kekecewaan yang pernah
dialaminya.
Dalam
sebuah buku kecil yang ditulis oleh Asma Karimah, Tragedi Kartini
(2001), terkisah tentang pertemuan Kartini dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin
Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.Kyai Haji Sholeh Darat (demikian
ia dikenal) sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang
pesisir utara. Pada suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya seorang
bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat).
Saat
itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini
ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain dari balik hijab(tabir).
Kartini tertarik dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat
yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah
selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya
untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Berikut
ini dialognya seperti ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh
Darat.
“Kyai,
perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang
berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?"
Tertegun
Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis
itu.
“Mengapa
Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil
berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas
dalam pikirannya.
“Kyai,
selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat
pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku.
Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak
habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan
dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab
pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Setelah
pertemuan tersebut, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke
dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat
menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril
Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah
sampai dengan Surah Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang
sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu, Kyai Sholeh Darat meninggal
dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Nama
Kyai Sholeh Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam
surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah
ia tuliskan dalam salah satu suratnya.
"Wahai!
Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada
jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya
yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama
Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi
membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu
sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja
yang dicetak." (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902)
Demikianlah,
menilai Kartini secara parsial akan menzhaliminya, apalagi menimbangnya dengan
ukuran-ukuran masa kini. Menilainya sebagai kejawen tulen, terbantah dengan
progresivitasnya yang luar biasa. Menilainya sebagai pluralis dan liberalis
tulen juga keliru, sebab dalam pergaulannya Kartini memang sedang bicara dengan
orang yang tak seagama dan sebagai seorang Jawa dia pasti memilih kalimat yang
berhati-hati. Menilainya sebagai alat penjajahan untuk politik etis, sungguh mengabaikan
pribadi Kartini yang tecermin dalam surat-surantnya benar-benar punya hati
tulus yang dihadiahkan untuk kaumnya.
Adilnya,
Kartini telah menunjukkan sebuah kehausan dan kerinduan pada cahaya Islam.
Meski dia hanya berhasil meraihnya sekilas, tetapi alangkah agung ‘amal
jariyahnya jika benar bahwa Kiai Sholeh Darat menuliskan terjemah Al Quran
tersebab dialognya dengan Kartini. Itu sudah cukup untuk menjadikannya beroleh
pahala tiada putus dari Allah dan penghargaan tinggi dari para mukmin sejati.
Mungkin
ada yang keberatan dan menyebutnya sebagai karya kecil; dan bahwa Kartini
kemudian disebut masih terlalu banyak menyimpang dari syari’at yang murni.
Tentu saja, jika semua pembawa cahaya untuk zamannya ditimbang dengan ukuran
masa kini, maka mereka hanya akan menjadi lentera usang penuh noda. Lihatlah
Kartini dan ukurlah dengan zamannya ketika da’wah adalah kata yang nyaris
asing. Selebihnya, mari berrendahhati untuk mengakui keagungan para pendahulu..
Salim
A Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar