Selasa, 12 Mei 2015

10 Lukisan yang Tak Selesai


Majalah Tarbawi Edisi 214 Th. 11 Dzulqa’idah 1430 H/ 5 November 2009 M

Setiap saat, dalam perjalanan hidup yang panjang, kita selalu menemukan satu per satu rahasia kehidupan. Setiap satu rahasia yang kita temukan, menambah pengetahuan kita tentang hidup. Setiap kali pengetahuan kita bertambah, kita menjadi lebih arif dan bijaksana.

Situasi itulah yang terekam dalam salah satu warisan hikmah orang Arab. Mereka mengatakan, sebodoh-bodohnya manusia , umur akan tetap membuatnya lebih bijaksana. Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena sifatnya yang akumulatif, maka kesadaran hidup kita tidak akan bisa terbentuk seketika. Karena tidak terbentuk seketika, maka sikap hidup kita berubah dari waktu ke waktu.

09 Dunia Kita Hidup Kita


Majalah Tarbawi Edisi 213 Th. 11 Dzulqa’idah 1430 H/ 22 Oktober 2009 M

Bisakah kita membayangkan bagaimana dulu, Adam dan Hawa, menjalani hidup ketika hanya mereka berdua yang menghuni bumi? Mungkin mudah membayangkan bagaimana mereka mencari makan untuk menyambung hidup, atau membuat rumah tempat mereka berteduh, atau membuat pakaian untuk menutup aurat mereka. Tapi coba bayangkan bagaimana pada mulanya mereka menemukan bahasa sebagai alat komunikasi mereka? Atau bagaimana pada mulanya mereka mengenal satu-persatu dari jengkal tanah bumi ini?

08 Para Pencipta Kemakmuran


Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11 Syawal 1430 H/ 8 Oktober 2009 M
Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang meJlimpah ruah. Ia justru sedih karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya.

Teknologi Jihad untuk Narasi Peradaban


Majalah Tarbawi, edisi 194 /Th. 10 Muharram 1430 H-08 Januari 2009 M
Para penakluk imperium dari jazirah itu menyisakan satu realitas yang lucu. Mereka tumbuh di tengah gurun sahara dan tidak bisa berenang. Itulah yang yang jadi kendala pasukan Muslim saat akan menaklukkan Persia dimana mereka harus menyeberangi sungai Eufrat dan Tigris. Dalam waktu singkat kendala itu bisa dilalui. Sebab itu Cuma sungai. Begitu  juga ketika pasukan Muslim di bawah komando Amr bin Ash itu harus menaklukkan Mesir dari kolonialisme Romawi. Sebab masih ada jalur darat untuk sampai ke sana.

Kendala menjadi lebih besar ketika Syam, Irak dan Mesir sudah ditaklukkan. Sebab semua ekspansi setelah itu harus melewati laut. Itulah yang menggusarkan Umar bin Khattab. Itu terlalu berisiko. Apalagi ketika beliau bertanya kepada Amr bin ‘Ash tentang suasana diatas kapal di tengah laut. Amr yang cerdas dan humoris melukiskan suasana itu dengan cara yang agak dramatis. Bayangkan saja, ada sebatang pohon yang terapung diatas laut yang berombak, sementara ulat-ulat yang adalam dalam batang kayu itu berusaha untuk tetap bertahan dan tidak jatuh atau terseret ombak. Begitu juga manusia-manusia yang ada di atas perahu atau kapal.

Umar bin Khattab tentu saja tidak buta dengan dramatisasi dalam deskripsi Amr bin ‘Ash itu. Tapi ia toh akhirnya menghentikan semua ekspansi yang harus melewati laut. Ada alasan lain memang. Teritori mereka sudah terlalu luas, masyarakat Muslim yang baru ini juga terlalu multi kultur. Persoalannya terletak pada pengendalian. Tapi kemudian kebijakan Umar itu mengalihkan arah ekspansi ke kawasan Asia Tengah dari arah Irak, sementara ekspansi ke arah Cyprus menuju Konstantinopel dihentikan.

Inilah kemudian yang menjadi pembeda dalam riwayat Umar dan Utsman. Sebab Utsman justru melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah Romawi. Dan itu memicu penemuan teknologi Maritim dalam sejarah peradaban Islam untuk pengembangan armada laut pasukan Muslim. Dari situlah mereka berekspansi ke teritori terakhir Mesir, Alexandria selanjutnya ke Afrika Selatan dan Utara, lalu membebaskan Cyprus dan Rhodes. Itu diluar ekspansi yang berlanjut ke Armenia. Jadi hampir seluruh koloni Romawi sudah jatuh ke tangan Islam sejak saat itu. Yang tersisa adalah pusat kekuasaan mereka di Timur, Konstantinopel, dan di barat Roma. Putera Heraklius, Constantine, bahkan dibunuh pasukannya sendiri di kamar mandinya di Cyprus akibat kekalahan bertubi-tubi itu. Tujuh abad kemudian, dengan armada laut pula Muhammad Al Fatih membebaskan Konstantinopel yang sudah terlalu lama terkepung dan kesepian.


Peradaban adalah sebuah narasi besar. Tapi para mujahid itu telah mengubah narasi besar itu menjadi kapasitas besar. Maka mereka mengembangkan teknologi jihad untuk mengimbangi narasi besar mereka. Teknologi berkembang mengikuti semangat jihad mereka. Dan bukan hanya ketika ada teknologi baru mereka berjihad. Mereka adalah para mujahid pembelajar. Lalu, takdir sejarah mempertemukan dua kekuatan dahsyat itu; narasi peradaban untuk generasi penakluk. Jadi kalau kamu punya cita-cita besar, kamu harus menjadi pembelajar cepat. Pembelajaran niscaya akan mengubahmu menjadi penakluk. 

Mujahid Badui Penakluk Imperium


Majalah Tarbawi Edisi 193 Th. 10 Dhulhijjah 1429 H/ 25 Desember 2008 M

Apa penjelasannya, bahwa 3000 mujahid dari badui-badui gurun jazirah Arab, berani melawan 200,000 pasukan Romawi dalam perang Mu’tah?  Mereka tidak menang, memang, dalam pertempuran yang berlangsung tahun kedelapan hijriah itu. Tiga panglima mereka gugur sebagai syuhada; Zaid Bin Haritsah, Ja’far Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Rawahah. Ketika Khalid mengambil alih kepemimpinan, yang ia lakukan adalah mundur teratur untuk menyelamatkan nyawa mujahidin yang tersisa.

Sementara anak-anak melempari mereka dengan batu saat kembali ke Madinah, karena dianggap melarikan diri, Rasulullah justru menggelari Khalid sebagai Saefullah Al Maslul. Pedang Allah yang terhunus. Menyelamatkan nyawa pasukan adalah keputusan bijak seorang pemberani. Berhasil mundur dari kejaran pasukan sebesar itu adalah keahlian tempur seorang jenius perang. Tapi berani melawan pasukan sebesar itu adalah pesan penting bagi Romawi; pertempuran sudah kita mulai, dan kami akan kembali.

Perang Yarmuk adalah saksi kejeniusan perang Khalid. Pertempuran yang terjadi sekitar enam tahun setelah setelah pertempuran Mu’tah itu, memang terlalu legendaris. Bayangkan 36.000 mujahid Muslim melawan 240.000 pasukan Romawi. Gelar Rasulullah Saw kepada Khalid jadi kenyataan. Sejak itu Romawi diusir dari wilayah jazirah Arab, Syam kemudian Mesir.

Apa penjelasannya, bahwa mujahid Badui itu bisa menaklukkan imperium besar seperti Romawi dan Persi? Dalam pendekatan aqidah dan iman, kemenangan itu dapat dengan mudah ditafsirkan. Tapi dalam pendekatan strategi perang, kita mungkin perlu mempelajari The Art of War dari Sun Tzu, strategi perang tertua yang ditulis 500 tahun sebelum Masehi dan telah mengilhami China dan Jepang selama 2400 tahun. Atau The Militery Institution of The Romans yang ditulis oleh Vegetius kepada Valentinian II sekitar tahun 390 M, dan kelak mengawali pengembangan tentara regular di Eropa. Atau My Reveries Upon Art of War yang ditulis Jenderal Maurice De Saxe tahun 1732 M.  Strategi  ini merupakan kembangan ide-ide Vegetius dan kelak banyak mengilhami Napoleon seperti diurai Stonewall Jackson dalam The Military Maxims of Napoleon. Atau The Secrets Instruction Frederick The Great to His Generals yang secara kebetulan ditemukan dalam kopor kecil Jenderal Czetteritz tahun 1760. Atau On War dari Carl Von Clausewitz’s tahun 1832. Kedua pemikiran strategi militer inilah yang melatari semua pengembangan strategi perang Jerman.

Kebesaran Mujahid Badui yang telah menaklukkan Imperium Persi dan Romawi itu hanya mungkin kita pahami dalam kerangka pemikiran-pemikiran strategi perang itu. Khalid tumbuh dalam tradisi perang gerilya yang menjadi ciri perang masyarakat jazirah. Tapi ia menguasai cara berpikir tentara regular Romawi yang mengusai pola perang konvensional dengan alutsista besar sejak 200 tahun sebelumnya. Keteraturan adalah ciri pasukan Persi dan Romawi, atau tentara Modern. Ketidakteraturan adalah ciri pasukan gerilya. Diperlukan waktu untuk menemukan pola dalam ketidakteraturan itu. Khalid mempelajari keteraturan itu sebagai sebuah kekuatan, tapi tetap menggunakan pola perang gerilya sebagai kombinasi dari pusat kekuatannya. Tapi mereka gerilyawan yang agresif. Jadi secara strategi ia unggul. Ia tahu cara berpikir musuhnya. Tapi musuh tidak tahu keseluruhan cara berpikirnya. Ketahuilah cara berpikir musuhmu, tapi jangan berpikir dengan cara berpikirnya.



Kepemimpinan Para Pembelajar


Umar Bin Khattab termenung lama.  Lama sekali. Apakah ini kebaikan atau musibah ? Begitu ia bertanya pada dirinya sendiri tentang fenomena kemenangan –kemenangan besar yang ia peroleh. Tiba-tiba ia tersadar bahwa eranya terlalu jauh berbeda dengan era kedua pendahulunya: Rasulullah Saw dan Abu Bakar As Siddiq.

Di era Umar teritori Khilafah menjadi lebih dari 18 negara kalau dikonversi dengan era sekarang. Populasi umat Islam juga bertambah begitu pesat. Lahirlah sebuah masyarakat yang mulitikultur yang sangat besar. Lalu ada kemakmuran dan kesejahteraan serta kekayaan yang melimpah ruah. Ini semua belum ada di era Nabi dan Khalifah pertama. Itu meresahkan Umar. Apakah ini kebaikan ? Atau malah musibah ? Kalau ini kebaikan, mengapa ini tidak terjadi pada masa sebelumnya? Kalau ini musibah, Apakah Allah hendak memisahkan aku dari kedua pendahulu?

Ini resah seorang pemimpin yang tidak pernah selesai belajar. Ia bertanya dan terus bertanya. Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hasilnya nyata. Hasil pembelajaranya sekarang menjadi sumber pembelajaran nyata. Hasil pembeljarannya sekarang menjadi sumber pembelajaran kita semua. Beliau telah mendampingi Rasulullah saw sekitar 18 tahun dan mendampingi Abu Bakar selama 2.5 tahun. Beliau telah belajar banyak. Jadi walaupun zaman yang beliau lalui terlalu jauh berbeda, tetapi beliau memiliki sumber pembelajaran lapangan selama 20an tahun dan itu memadai untuk membantu beliau meletakkan dasar-dasar Negara baru di Madinah.

Beliau meletakkan dasar-dasar dari konstitusi dan system pemerintahan, menata system keuangan Negara, memulai pembentukan dan pengorganisasian tentara professional setelah sebelumnya setiap warga Negara diharuskan menjadi mujahid dan prajurit Negara, mengatur strategi ekspansi militer yang kemudian melahirkan futuhat atau pembebasan-pembebasan besar yang berpuncak pada pembebasan Al-Aqsha, mendistribusi para ulama ke berbagai wilayah, membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan.

Itu sebabnya, Rasulullah saw dan Abu Bakar bersama Umar Bin Khattab selalu diletakkan sebagai founding fathers dari Negara Madinah. Suatu saat sang pendiri Negara itu berpesan kepada siapapun yang akan menjadi pemimpin: “Ta’allamu Qobla An Tasuuduu: Belajarlah sebelum kalian memimpin.”



Peradaban Para Pembelajar


(Tarbawi Edisi 191 Th.10 Dzulqa’idah 1429 H/ 27 November 2008 M)
Akal-akal besar itu selalu mampu mengunyah semua masalah zamannya. Tak jarang bahkan akal mereka menembus dinding waktu zaman mereka, dan merengkuh semua masalah yang terjadi berpuluh bahkan berates tahun sesudah mereka pergi. Bukan karena ilmu yang dating bagai embun pagi yang diteteskan di atas daun otak mereka maka mereka tahu semuanya. Bukan, mereka mengunyah semua masalah zaman mereka melalui upaya memahami yang tidak pernah berhenti. Maka mereka selalu sanggup merespon semua masalah yang muncul di zaman mereka.

Mereka bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang konstan yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realitas menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur’an dan hadist sebagai sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al Qur’an dikumpulkan di zaman Abu bakar lalu ditulis secara formal di zaman Utsman dan dijadikan sebagai standar bacaan  serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang kemudian dikenal sebagai mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al Qur’an terjaga dari semua bentuk penyimpangan sepanjang masa. Selamanya.

Penjagaan kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Disamping perlu waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur’an karena secara lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang sedikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya yang rumit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al Zuhri , yang kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi hadist-hadist Rasulullah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa metode ilmu hadist ini adalah salah satu warisan pengetahuan Islam yang tidak pernah tertandingi oleh semua peradaban lain. Seandainya metode itu dipakai untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi Isa As, atau meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takkan ada riwayat yang sahih yang sampai kepada kita.

Akal-akal besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus menerus mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari ujung abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek kehidupan. Imam Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid dibanding ilmu logika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab masalah yang belum terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka melakukan itu, beliau hanya tersenyum sembari menjawab:”Orang berakal menyediakan jawaban sebelum pertanyaannya datang.”

Begitulah peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebenarnya juga tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka selalu ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantangan zaman mereka secara lebih baik.


Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan




Lelaki buta huruf itu tiba-tiba disuruh membaca. Bukan. Bukan disuruh. Tepatnya dipaksa. Sampai tiga kali. Dan pecahlah peristiwa itu salam sejarah manusia; lelaki buta huruf itu lantas diangkat menjadi nabi, bahkan penutup mata rantai kenabian hingga akhir zaman.

Begitulah perintah membaca mengawali pengangkatan Muhammad menjadi Nabi. Kelak, setelah menunaikan tugas kenabian itu selama 23 tahun, atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, Allah swt menutup perjuangan beliau dengan satu ayat tentang kesempurnaan:”Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan Ku sempurnakan pula nikmat Ku untuk mu dan aku ridho Islam sebagai agamamu.”
Risalah kenabian itu dibuka dengan perintah membaca, dan kelak ditutup dengan pernyataan penyempurnaan dan keridhoan. Awalnya adalah pembacaan. Ujungnya adalah penyempurnaan. Maka berkembanglah agama terakhir ini dari seorang Nabi menjadi seratusan ribu manusia Muslim, dari komunitas kecil para pengembala kambing jazirah Arab yang tandus menjadi sebuah peradaban besar yang memimpin kemanusiaan selama lebih dari seribu tahun.

Kitab kehidupan ini memang begitu seharusnya dipahami: bukalah ia dengan pembacaan yang menyeluruh, niscaya engkau akan mengkhatamkannya dengan kesempurnaan. Jika kita belajar lebih banyak di awal kehidupan, niscaya kita akan mencapai kesempurnaan di penghujung umur, dan menutup mata dengan senyum dalan keridhaan Allah Swt.

Cara kita menjalani hidup selamanya ditentukan oleh cara kita memahami hidup. Seperti apa cara kita memahami hidup, seperti itu pula cara kita menjalaninya. Coba masuk ke dalam hutan belantara tanpa peta. Pasti tersesat. Bahkan mungkin tidak bisa keluar. Begitu juga kehidupan. Membaca adalah peta. Makin menyeluruh dan akurat peta yang kita miliki, makin cepat dan pasti kita sampai ke tujuan.


Diantara pembelajaran dan kesempurnaan, ada satu jembatan emas yang menghubungkannya:pertumbuhan. Pertumbuhan adalah adalah jalan menuju kesempurnaan. Mereka belajar maka mereka tumbuh. Kesempurnaan adalah ujung hidup yang dicapai dari tapak demi tapak kehidupan. Mereka menjadi sempurna karena mereka tidak pernah berhenti menjadi lebih baik. 

Mendaki Sejarah



Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.

Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki.

Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia.

Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan terarahm, sense of direction,  memberi kita kepastian dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu kemana kita melangkah, berapa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah dalam realitas kekinian.

Rute itu membuat kita menjalani kehidupan denga penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muhammad Iqbal.

Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah saw, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusukan:


Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”. 

Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar



Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang menggerakkan segenap raga kita untuk menciptakan taman kehidupan yang indah bagi diri kita dan orang lain. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk berjalan dengan cara yang benar pada peta jalan yang tepat menuju ke sana.

Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang mendorong kita untuk terus-menerus memberi, untuk berkontribusi tanpa henti dalam menciptakan taman kehidupan yang indah itu. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk mengembangkan kapasitas diri kita, juga tanpa henti, agar semangat memberi berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk memberi. Sebab mereka yang tidak punya apa-apa kata pepatah Arab, takkan bisa memberi apa-apa.

Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang lahir dari keikhlasan dan ketulusan niat, tumbuh berkembang dalam lingkungan hati yang mulia dan luhur, mekar dan berbuah dalam rengkuhan jiwa yang bajik dan bijak. Maka seluruh niatnya adalah kebajikan. Maka segala cintanya adalah ketinggian. Tapi pembelajaran membingkai niat baik itu denga cara yang benar dan tepat.

Maka berpadulah ketulusan dengan kebenaran. Maka bertautlah kebaikan dengan ketepatan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka bersamalah ketinggian cita dengan peta jalan yang terang benderang.

Begitulah pada mulanya pahlawan sejati menapaki tilas sejarah mereka. Mereka mendengar panggilan sejarah yang diteriakkan oleh pekik nurani mereka. Maka mereka terbangun, tersadar, lalu bergerak. Lalu datanglah cinta meberi tenaga pada gerak mereka. Maka langkah kaki mereka menancap kokoh di tapak sejarah, melaju secepat angin, kuat bertenaga bagai badai. Tapi mereka menyadari makna waktu dalam aksi mereka; bahwa ada keterbatasan waktu yang tidak bisa mereka kendalikan padahal cita mereka teramat tingggi; bahwa memberi adalah proses yang tak boleh berhenti seperti kompetisi marathon yang mensyaratkan nafas panjang. Mereka memiliki sumber energi yang dahsyat, tapi mereka juga tahu bagaimana mengelola energy itu untuk bisa menciptakan karya kehidupan yang maksimal. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan yang rapuh, tetapi mereka juga tahu bagaimana mensiasati keterbatasan itu untuk bisa tetap bertumbuh sampai ke puncak.