Sabtu, 25 April 2015

Jokowi dan Kemustahilan Kemerdekaan Palestina


By: Nandang Burhanudin
****
60 tahun KAA diperingati ulang. Fakta, Palestina satu-satunya negara yang justru tidak merdeka. Negara-negara baru bermunculan hanya dalam hitungan minggu dan bulan. Tidak demikian dengan Palestina. Namun mereka pun sangat berduka. Melihat Indonesia yang gagah itu kini tergopoh payah. Tanah, air, udara, laut diinjak-injak Malaysia, China, Amerika. Lacurnya, Indonesia dipimpin sosok yang pembawa kehancuran bagi Indonesia sendiri. Demikian perkataan JK, sebelum Pilpres berlangsung tahun lalu.

Jumat, 24 April 2015

Kencingi Ka'bah, Kau Disebut Wah!


****
Dulu selepas kuliah S2 tahun 2003, sempat ditawarin penghasilan luarbiasa. Syaratnya hanya satu: Bikin tulisan tentang Islam Futuristik. Maaf, tulisan yang dimaksud adalah tulisan yang mengkritisi Islam berbasis pada pemutarbalikan dalil, hadis, siroh, dan sejarah.

Kini di tahun 2015, sudah 12 tahun lamanya, saya tak punya karir apapun. Ternyata teman saya yang merespon, sering tampil di TV dan menulis di surat kabar nasional. Isinya ya bongkar pasang ajaran Islam atas nama yang saya sendiri kurang paham.

Suara Hati Teruntuk Presiden Mursi


By: Nandang Burhanudin
*****
Siapa kira, Soedirman yang hanya seorang guru ngaji biasa dengan badan kurus kecil, namun di kemudian hari ia menjadi Jenderal Besar berbintang 5. Siapa menyangka Nelson Mandella, pesakitan politik namun di ujung usianya ia dikenang dunia sebagai pahlawan dunia.

Konsistensi dalam perjuangan melawan kezhaliman, itulah yang menjadikan seseorang beralih peran: from zero to hero, from hero to superhero. Siapapun bisa meraihnya, termasuk yang memiliki kekurangan secara fisik. Itu yang diraih Ernesto Che Guevara di Kuba, Syaikh Ahmad Yassin di Palestina.

Kamis, 23 April 2015

Sabar Adalah Tuntutan Setiap Mihwar Dakwah



Oleh : Cahyadi Takariawan

Kamis (21 Nopember 2013) kemarin, ustadz Anis Matta memberikan taujih kepada para aktivis dan qiyadah dakwah yang berkumpul di Jakarta Convention Center (JCC). Di antara isi taujih beliau adalah tentang pentingnya kita menguatkan kesabaran dalam menapaki jalan perjuangan. Menurut beliau, sabar adalah karakter dan akhlaq yang paling banyak disebut di dalam Al Qur’an, sampai para ulama menyebut sabar sebagai induknya semua akhlaq terpuji.

Tiada hentinya kita harus mengingatkan diri tentang kesabaran. Bukan hanya karena di jalan dakwah akan banyak tantangan dan hambatan dari luar. Makar, konspirasi, pembusukan karakter, pengadilan yang tidak adil, persepsi publik yang negatif, penyelewengan opini lewat berbagai media, dan lain sebagainya. Namun kesabaran ini diperlukan di setiap mihwar, karena secara internal pun dakwah ini hanya bisa dijalankan oleh mereka yang sabar.

Maafkan Aku (Prabowo telah membuatku lupa hari ulang tahun pernikahan kita)

Maafkan Aku... (Prabowo telah membuatku lupa hari ultah pernikahan kita)


*Oleh Cahyadi Takariawan



Untuk istriku – Ida Nur Laila

Maafkan aku tidak mengingat peristiwa hari ini, tujuh juli
Mestinya sejak tadi pagi aku sudah menelponmu
dan mengucapkan “I Love You”
Sudah duapuluh tiga tahun engkau menemaniku
Menjadi belahan jiwaku
Mengerti semua kondisi diriku
Memahami semua persoalanku

Maafkan aku lebih dekat capres pilihanku hari ini, tujuh juli
Sebab dua hari lagi dia harus berjuang di bilik pemilihan
Aku ingin ikut memastikan semua persiapan telah dilakukan
Berhari-hari aku meninggalkanmu
Menyiapkan saksi pilpres agar tak ada yang ragu
Banyak saksi Prabowo telah diintimidasi
Aku ingin mereka menjadi saksi dengan hati pasti

Maafkan aku lebih peduli Prabowo hari ini, tujuh juli
Tidak ingat sama sekali peristiwa bersejarah kita berdua
Tujuh juli seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu
Akad yang kuat telah terucapkan tanpa ragu
Aku menikahimu di depan orang tua dan penghulu
Naik bus aku membawamu ke kota perjuanganku
Tanpa bertanya engkau selalu membersamaiku

Maafkan aku memilih mengurus kelengkapan saksi hari ini, tujuh juli
Tidak sempat membelikan hadiah untuk peristiwa bersejarah kita
Mungkin engkau mencemburui Prabowo capres pilihanku
Berhari-hari aku bekerja untuk membantunya
Tidak sempat pulang, tidak cukup waktu untukmu
Hingga seorang sahabat mengirim pesan mengingatkanku
“Selamat ulang tahun pernikahan pak Cah dan Bu Ida”
Hah, aku benar-benar terlupa untuk peristiwa besar kita

Maafkan aku tidak mengingat peristiwa hari ini, tujuh juli
Aku hanya bisa memberi hadiah pin garuda merah untukmu
Tidak ada seikat bunga atau cincin permata
Tidak ada kue atau tumpeng untuk merayakannya
Hanya kelengkapan data saksi yang akan aku penuhi
Untuk memenangkan Prabowo dalam pilpres nanti

Jakarta, 7 Juli 2014


Dahsyatnya Jatuh Cinta | Oleh Cahyadi Takariawan


Oleh Cahyadi Takariawan

Adakah kerugian orang yang jatuh cinta? Tentu saja ada dan sangat banyak daftarnya. Saya contohkan dua hal saja.

Pertama, ketika orang jatuh cinta cenderung bersifat tidak rasional. Ini membahayakan saat harus mengambil keputusan untuk menikah. Karena menikah itu peristiwa sakral dan berdampak seumur hidup, bahkan sampai akhirat, mestinya diputuskan dalam suasana rasional dan penuh pertimbangan. Celakanya, orang yang jatuh cinta sudah tidak bisa menerima masukan.

Ketika Setan Akbar dan Iblis Akbar Bersatu


By: Nandang Burhanudin 
****
Sewaktu di pesantren, saya sempat mengagumi negeri Iran. Tertarik akan keberanian para pemimpin Iran yang "sangat berani" mencaci maki Israel dan AS. Kesan saya waktu itu, Iran menjadi satu-satunya negara Islam yang berani menghadapi Thagut Paling Akbar dan Setan Paling Besar yang bernama AS.

Pandangan saya, hampir mewakili kebanyakan kaum awam dan kaum "baru terdidik" di kalangan umat Islam kebanyakan. Semua tertipu dengan kesan yang telrihat di luar. Namun tak pernah menyangka, bahwa peristiwa di balik layar, di dapur operasi, di ruang superrahasia, AS-Israel-Iran berada dalam satu koalisi bersama. Kita benar-benar dijejali informasi dari media, yang notabene dimiliki Barat-Yahudi-AS-Salib.

Rabu, 22 April 2015

Otak Negatif


By: Nandang Burhanudin 
*****
Fragmen SATU:
(+) Kang, hebat ya Ridwan Kamil. Baru 2 tahun jadi walikota, gebrakannya terlihat dan terasa. Buktinya, Bandung makin ciamik. Padahal duitnya bukan dari APBD, dari CSR luar negeri lho Kang.
(-) Alah ... wajar aja. Tidak perlu diekpos. Bekerja itu harus ikhlas, jangan cari pamrih. Itu tugas dia kan sebagai pemimpin. Lillahi Ta'ala.

Wanita Berkalung Asa


By: Nandang Burhanudin 
****

Lama tak bersua di alam nyata. 
Sungguh jiwa ini lama merenda.
Tentang hati yang terpatri cinta.
Pada sang wanita yang kini tiada.
Bila ditanya, apakah bunda atau purnama.
Saat bersinar di waktu yang sama. 
Kujawab, bila ingat bunda, purnama tiada.
Bila melihat purnama, kuingat bunda tercinta.

Ahlul Klaim wal Kalam


By: Nandang Burhanudin 
*****

(-) Kita harus mencontoh Muhammad Al-Fatih. Penakluk Konstantinopel. Setelah itu, Khilafah Islamiyyah tegak. Islam dijaga. Al-Qur'an dipelihara. Allahu Akbar.
(+) Maaf mas. Sudah mengikuti pola hidup Muhammad Al-Fatih?
(-) Bukan hanya Muhammad Al-Fatih. Thoriqoh dakwah kami sesuai dengan Sunnah dan Thoriqoh dakwah Rasulullah.

Welcoming the Third Wave of Indonesian History



As the 2014 election nears, let us take a bird’s-eye view of the course of our history. The 2014 election is important not only because it signifies a power shift in government, but also because it serves as momentum for the third wave of Indonesian history.

The first wave occurred from the 17th century to the mid-20th century, which I refer to as the process of “becoming Indonesia”.

The second wave took place between proclamation of our independence in 1945 and today, as we have dealt with the issue of “becoming a modern nation-state”. From 2014 onward, we will enter a new wave in history, in which we will face entirely new challenges in amid a different environment.

The first wave in Indonesian history lasted around 300 years. After the integration of the colonies, which were referred to as the East Indies or Dutch East Indies, the name Indonesia evolved to become a political economic notion.
After a long history of struggle and suffering, the Indonesian people realized that imperialism could not be conquered by the divided power of the small kingdoms and many ethnic groups that existed. The only way forward was to merge all the primordial nodes into one powerful force. It was then that the founding fathers of this nation made a spectrum shift.

It was not easy to pick one name to unify all the different ethnic groups, and the name Indonesia was a symbol of agreement, born from willingness and solidarity, as a result of a long history.

After the declaration of independence, Indonesia faced the challenge of finding a compatible system that was relevant with its history and culture. To become a modern nation, we needed a modern constitution, strong state institutions and culture of democracy.

For nearly 70 years, we have been debating the most suitable ideology, political, economic and government system for our country. This struggle to identify the right systems was the zeitgeist that stretched all the way through the Old Order, New Order until the Reform era.

This is also the reason behind the episodes of heated argument between various ideologies of Islam, nationalism, socialism and many others that we went through as a nation. We have survived long and tiring discussions over the relationship between religion and state and over the right economic system to implement.
Unfortunately, all these struggles were like a pendulum that swung from one extreme point to another. The New Order came as an antithesis of the Old Order. In this era we had found for ourselves a strong state institution but at the expense of freedom and liberty of the people. This was the core of the criticism aimed at the reform movement.

The Reform era brought a new equilibrium for Indonesia. It became the synthesis of the Old and New Orders, in which we have successfully attained balance.
First, the balance of the relationship between state and religion. We have finally met a consensus that we can use the Islamic principles within the nation, as we can put Pancasila as an open stage for different identities.

Second, we start to find a balance between the freedom and welfare of people. Even though we have not reached the ideal standard yet, we can safely say that we are getting there.

Third, we have also found some balance between democracy and development; between freedom and security; between state autonomy and national integration.
We have managed to surpass the existential challenge as a nation-state and transformed ourselves from a vulnerable country with a history of rebellion and conflict into a strong nation-state ready to face the new historical wave.

At the moment, we are entering the third wave of Indonesia history, with different main driver of change. Before we have had to deal with external challenges (i.e. imperialism, the Cold War), now we have to deal with a new set of internal drivers of change, which is the significant change in our demographic composition.

The ultimate change is due to the emergence of new middle class. This group will make up 60 percent of the total population. It has recently become “the new majority” in Indonesia. Economists and demography experts refer to them as “demographic bonus” or the “demographic dividend”.

The political challenge that will soon arise will be the urgent need for new categorizations not based on ideology to represent this new group. Old political polarizations, especially the ideological polarization of Islam versus nationalism, is no longer relevant. We have to define “the next Indonesia”.

The strengthening of this new middle class has impacted massively on social structures as well as improving the bargaining power of the civil society vis-a-vis the state. Moreover, this new middle class will gain more confidence as the world economy starts to move toward Asian territory.

We are now also witnessing the birth of native democracy generation, a generation that has only experienced democracy. They did not go through the New Order into the Reform era. They perceive democracy as something that is given and not something that is achieved through bloody struggles. Furthermore, for this group, the chaotic state of our political landscape right now could feed into a sense of apathy toward democracy.

As this new wave is driven by the demographic changes, therefore, orientation toward humanity as the pinnacle. There should no more divergence among the state and the civil society. The state should go back to its core definition as a social organization to create order. Social consolidation will help grow communities.

The state is then put to the test of capacity: Can the state successfully deliver its role? The state authority is no longer relevant if its capacity to function does not meet the expectancy of this new majority. Hence, I believe, to address this issue we would need a new leadership approach.

The 2014 election will not only accommodate the shift in power, but also the incoming shift of this new historical wave. A shift in power is not uncommon in democracy.

However, what is more pressing and important right now is to understand what this means to us as a nation. That is, what I believe, we must really dig into and discuss right now. – The Jakarta Post, November 20, 2013.

* The writer is president of the Prosperous Justice Party (PKS).

http://www.anismatta.net/2013/11/20/welcoming-the-third-wave-of-indonesian-history/

Menuntaskan Transisi Demokrasi



Pemilihan umum 2014 harus menjadi tonggak sejarah penting tuntasnya transisi menuju demokrasi yang kita mulai sejak 1998. Karena itu, pemilihan presiden yang akan segera berlangsung bukan saja merupakan momentum politik biasa–dalam konteks siklus demokrasi– melainkan momentum sejarah untuk Indonesia naik kelas menjadi negara demokrasi yang lebih stabil dan fundamental.

Hasil pemilu legislatif menunjukkan fenomena yang mengejutkan bagi sebagian kalangan. Riuh rendah hasil survei menjelang pelaksanaan kampanye pileg memang sempat memberi kesan bahwa perlombaan sudah berakhir bahkan sebelum pemilu dimulai. Elektabilitas partai dan figur seolah sudah dipatok oleh jawaban responden survei.

Belum lagi elemen baru yang makin ikut berperan meramaikan ranah politik: media sosial. Seolah-olah pemilihan umum sudah usai dan presiden sudah terpilih. Ternyata belum. Hasil hitung cepat (quick count)berbagai lembaga menunjukkan pembagian suara yang relatif merata, datar (flat) dan terfragmentasi.

Hitungan ini dikonfirmasi oleh hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kita menyaksikan bahkan pemenang pemilu legislatif belum bisa melenggang mencalonkan kandidat presidennya sendiri. Hal-hal yang selama ini taken for granted sebagai rumus kemenangan, ternyata tidak terjadi.

Misalnya efek figur terhadap partai, atau pimpinan partai yang juga pemilik media sehingga lebih mudah melakukan “serangan udara”, pencitraan lewat orkestrasi pemberitaan di media, dan belanja iklan yang fantastis, ternyata tidak otomatis berbuah perolehan suara yang luar biasa pada saat pemungutan suara.

Bisa dibilang tidak ada hal luar biasa pada Pemilu 2014 ini. Tidak ada kemenangan mudah dalam pertandingan ini. Pada 2004, kita masih melihat ke-luarbiasaan, Partai Demokrat yang meraih 7% berhasil mengegolkan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2009, giliran figur Yudhoyono yang mengerek perolehan suara Demokrat.

Pada 1999, Golkar yang dihujat oleh gerakan Reformasi ternyata masih survive, bahkan meraih suara nomor dua tepat di bawah PDI Perjuangan yang dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru, bahkan Golkar kemudian meraih suara terbanyak pada Pemilu 2004. Hal-hal luar biasa tidak terjadi di Pemilu Legislatif 2014. Tidak ada partai yang meraih suara sangat dominan, tidak ada figur yang fenomenal hingga mampu mengerek perolehan suara partainya. Apa yang terjadi?

Ekosistem Politik yang Lebih Stabil 
Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan ekosistem politik yang lebih stabil dan publik pemilih yang tidak “kaget-kagetan” dengan segala manuver berbagai partai politik. Publikasi hasil survei tidak mampu menghasilkan“bandwagon effect” (efek menarik suara) karena pemilih sudah mampu membedakan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.

Bisa dibilang, ekosistem politik kita sudah mampu melakukan “containment” (kemampuan membendung ledakan pengaruh) dan mendistribusi guncangan ledakan itu merata ke seluruh sendi-sendi ekosistem tersebut.

Itu yang tampak dari publik yang tidak kagetan dan mampu melakukan penyaringan informasi di tengah bombardir iklan dan berita. Efek figur yang populer, pencitraan media, belanja iklan, semua itu menjadi faktor yang kontribusinya proporsional saja dari sekian banyak faktor yang dibutuhkan dalam memenangkan pemilu.

Memiliki satu atau dua dari sejumlah faktor itu tidak serta-merta menghasilkan kemenangan yang mudah. Dari sini kita belajar bahwa mesin partai, kader, figur, belanja iklan, dan kekuatan finansial, serta faktor-faktor lain adalah bahan mentah yang perlu diracik oleh seorang koki andal untuk membuahkan hasil yang optimal.

Kita menyaksikan masyarakat sipil semakin independen dan berdaya. Tidak ada lagi “politik grosiran”, di mana dukungan diraih dengan hanya memengaruhi pemimpinpemimpin kelompok sosial. Individu semakin menunjukkan jati dirinya. Mereka ingin berpartisipasi tetapi juga tidak ingin pesta demokrasi ini dibajak oleh oligarki elite.

Itu yang bisa kita baca dari maraknya partisipasi masyarakat kelas menengah dalam ajakan untuk tidak golput, sambil tetap “dengan galak” meminta pertanggungjawaban dan akuntabilitas dari partai politik dan calon anggota legislatif. Inilah fenomena masyarakat dalam gelombang ketiga sejarah Indonesia.
Setelah sebelumnya dalam gelombang pertama, kita menjadi Indonesia dengan puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan gelombang kedua kita menjadi negara-bangsa modern yang ditandai dengan Reformasi 1998 dan transisi demokrasi, maka pada 2014 ini kita memasuki gelombang ketiga dengan agenda utama memantapkan budaya demokrasi.

Memantapkan Budaya Demokrasi 
Reformasi 1998 dapat disimpulkan sebagai sintesis dari dialektika antara tesis Orde Lama yang dilawan oleh antitesis Orde Baru. Perdebatan dalam relasi antara negara dan agama, polemik kebebasan vs kesejahteraan dan integrasi nasional vs otonomi daerah, telah mengerucut pada kesimpulankesimpulan yang kita dapat selama transisi dari 1998 hingga Pemilu 2014 ini.

Dalam perspektif sejarah, Pemilu 2014 ini merupakan tonggak di mana kita menjalankan satu set penuh prosedur demokrasi: pemilihan umum langsung, dan presiden yang berkuasa secara maksimal dalam kerangka waktu konstitusional (dua periode) tanpa ancaman tindakan nondemokratis, dan–mudah-mudahan– serah terima jabatan presiden yang berlangsung secara damai dengan transisi pemerintahan yang mulus.

Demokrasi prosedural baru dapat memastikan kepatuhan terhadap proses dengan harapan prosedur yang baik akan membuahkan hasil yang baik pula. Prosedur demokrasi baru bicara pada basis legitimasi. Kini saatnya kita melangkah pada substansi demokrasi, yaitu berbicara kemanfaatan sebuah proses dan sistem demokrasi bagi manusia.

Demokrasi sebagai budaya artinya nilai-nilai demokratis dijadikan rujukan dalam kita bertindak dan bertingkah laku. Demokrasi bukan sekadar sistem yang mekanistik, melainkan juga menjadi cara menyelesaikan masalah, alat untuk menavigasi kehidupan, yang kita anggap tepat dan karenanya perlu dipertahankan.

Memantapkan budaya demokrasi berarti menggali lebih dalam substansi nilai-nilai sejati demokrasi sambil tetap menjaga sikap terbuka untuk mengkritik dan memperbaikinya. Tidak ada sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem yang dirasa tepat untuk menyelesaikan masalah dalam jangka waktu tertentu. Revisi dan koreksi terhadap praktek demokrasi akan semakin memantapkannya. Semoga Pemilu 2014 ini benar-benar merupakan tonggak dituntaskannya transisi demokrasi yang sudah berjalan 16 tahun.

Pemilihan presiden harus menjadi perdebatan gagasan tentang bagaimana kita membangun demokrasi yang mampu menghasilkan faedah bagi rakyat, bukan sekadar pesta pencitraan dan kontes figur penghibur yang menyenangkan tapi melenakan rakyat dari masalah sebenarnya. Semoga kita dapat melangkah ke masa depan dengan demokrasi yang lebih mantap, lebih mampu menghasilkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.

ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

http://www.anismatta.net/2014/06/02/menuntaskan-transisi-demokrasi/ 

Masyarakat baru Indonesia


ADA perubahan yang sedang terjadi diam-diam di tengah semua kegaduhan politik hari ini yaitu perubahan komposisi demografi dan karakteristik masyarakat yang pada gilirannya nanti akan mempengaruhi lanskap politik pada Pemilu 2014. 

Komposisi penduduk mulai condong ke usia muda, bahkan didominasi oleh penduduk berusia 45 tahun ke bawah. Proyeksi demografis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2014 ini angka usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 65%. Penduduk berusia muda ini memiliki tingkat pendidikan dan penghasilan yang cukup tinggi. 

Sebelum Kaum Sunnah Bertekuk Pasrah


By: Nandang Burhanudin

Sepanjang sejarah, bangsa Arab pra-Islam hanya satu kali mampu mengalahkan bangsa Persia. Yaitu dalam perang Dzi Qar di garis perbatasan Irak-Iran. Selanjutnya, Persia benar-benar takluk di bawah komando Amirul Mukminin Umar bin Khatthab r.a. dalam sebuah pertempuran yang masyhur perang Al-Qadisiyah, saat kabilah-kabilah Arab bersinar terang dengan cahaya Islam dan Nubuwwah Rasulullah Muhammad saw.

Saat bangsa Arab kembali ke era Jahiliyah, sedikit banyak telah melupakan tuntutan baginda Rasul dan menyingkirkan cahaya Islam. Bangsa Arab yang kemudian disebut sebagai Kaum Sunni, tak lagi mampu berdiri tegak menghadapi kekuasaan Persia (Iran kini). Iran menjadi negara pensuplai logistik bagi pasukan Koalisi Salib saat menggempur Afghanistan. Iran pula yang mensuplai minyak dan logistik saat AS-Koalisi Zionis-Salibis menggempur Saddam Husain, hingga Irak jatuh. Kini bekas ibu kota Khilafah dikuasai Syiah: Baghdad dan Damaskus, porak poranda tak ada lagi yang tersisa. Kini yang tersisa adalah Madinah dan Mekkah. Pusat turunnya Islam dan dakwah baginda Rasul, setelah tempat Isra-nya baginda dikuasai Yahudi.

Selasa, 21 April 2015

Mahkota Cinta Wanita


By: Nandang Burhanudin 
*****

Pepatah Arab mengatakan, "Seorang pria dilahirkan dua kali. Pertama, ketika ia dilahirkan ibunya. Kedua, saat ia dianugerahkan cinta oleh wanita yang menjadi istrinya." Seakan, tanpa cinta, seorang pria tak lebih dari seongok debu tak bermakna.

Kekuatan cinta seorang wanita tak ada yang memungkiri. Seorang ibu misalnya, mampu mengurus 10 anak laki-laki. Namun terkadang, 10 anak laki-laki tak mampu mengurus seorang ibu. Pantas Syaikh Khalid Al-Bakar menegaskan, "Tak ada makhluk yang mengungguli wanita. Sebelum baligh, wanita bisa memasukkan ayahnya ke surga. Saat dewasa, ia menyempurnakan setengah agamanya. Saat tua, surga berada di bawah telapak kaki ibunya."

Karena Melawan Syiah dan Yahudi, Presiden Mursi Dibenci

Karena Melawan Syiah dan Yahudi, Presiden Mursi Dibenci
By: Nandang Burhanudin

Semua teriak membenci Yahudi, Syiah, Zionis, Salibis. Mulut berkata benci. Tindakan justru merestui. Anehnya malah menganiaya satu-satunya pemimpin yang tampil gagah berani. Siapa lagi, jika bukan Presiden Mursi.
Adakah pemimpin Arab yang berani mengatakan di Sidang Umum PBB, di pusat dunia dan Amerika. "Segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Nabi yang kami cintai. Kami ikuti. Kami pun menghormati siapapun yang menghormati baginda Rasul dan akan melukai siapapun yang melukai baginda."

Kartini Tekun Belajar Agama Islam



Oleh : Cahyadi Takariawan

Pada setiap bulan April, masyarakat Indonesia selalu mengingat dua kosa kata berikut: emansipasi dan Kartini. Sebenarnya apa itu emansipasi, dan siapakah Kartini? Mengapa keduanya harus selalu berhubungan? Kita coba memahami keduanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan makna emansipasi  dengan dua pengertian (1) pembebasan dari perbudakan; (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Kartini adalah tokoh wanita Indonesia. Demikian penjelasan dari KBBI Online. Wikipedia Indonesia memuat makna emansipasi sebagai berikut: “emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu”.

Dekonstruksi Aqidah Islam


Adian Husaini
Wawancara Ulil Abshar Abdalah dengan Jalaludin Rachmat berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan, istilah "kafir" sudah tidak relevan. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24
Kamis (25 September 2003) banyak berita menarik yang muncul berbagai website media massa. Hampir semua media menampilkan berita tentang kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan satu orang dan mencederai 11 lainnya. Koran Berbahasa Inggris The Jakarta Post masih memuat poling calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, yang mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden RI 2004-2009. Dari Israel muncul berita menarik: 9 orang pilot Israel terancam dipecat karena menolak menembaki penduduk sipil Palestina. Berita pembangkangan pilot Israel ini juga dimuat oleh situs Harian Republika dan juga Islamonline.net.

Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Gerakan Da'wah Islam




 Abu Ridho 

Alhamdulillah gerakan da'wah ini di Indonesia ini telah mencapai usia seperempat abad. Suatu usia yang tidak bisa lagi dipandang kanak-kanak. Ia telah dewasa dan melebihi usia baligh. Oleh karenanya, setiap muncul permasalahan yang menyangkut kehidupan gerakan ini mestilah diselesaikan secara mandiri dengan pendekatan yang bijak dan arif.

Berbagai peristiwa yang menghiasi perjalanan pergerakan ini, dari yang menyenangkan hingga yang menegangkan, dari masalah da'wah hingga daulah, tentu akan menjadi modal bagi proses pendewasaan gerakan da'wah ini. Beragam problema yang menggeluti pergerakan ini, niscaya
akan menjadi suplemen yang akan mempercepat proses pembesaran tubuh gerakan ini, apabila disikapi secara positif.

Senin, 20 April 2015

Raja Salman dan Jebakan Kesendirian


By: Nandang Burhanudin 

Tiga minggu sudah, serangan koalisi 'Ashifatul Hazm terhadap Syi'ah Houtsi berlangsung. Hasilnya mudah ditebak. Serangan udara tidak efektif melumpuhkan kekuatan Syi'ah Houtsi, hasil gabungan dengan pasukan reguler yang setia kepada mantan Presiden Yaman Abdullah Shaleh.

Bagi saya. Dialektika peperangan Sunni-Syi'ah, tidak lagi relevan untuk menjadi parameter. Sebab permasalahan yang terjadi sangat komplek. Hal yang sepatutnya menjadi bahan renungan, bahwa serangan Saudi ke SYiah Houtsi justru adalah jebakan kesendirian terhadap Raja Salman. Istilah kerennya, "jebakan isolatif" terhadap Raja Salman.