Rabu, 02 Agustus 2017

MENGGODA SYAITHAN

MENGGODA SYAITHAN
@salimafillah

"Sesungguhnya syaithan adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh..." (QS Faathir: 6)


"Wahai Guru", adu seorang murid pada Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali, "Bukankah syaithan akan terusir jika kita berdzikir?"

"Betul Anakku", jawab Sang Imam.

"Lalu ada apa denganku ini? Aku telah mencoba untuk banyak berdzikir, tapi si terkutuk itu rasanya terus datang dan datang lagi, menggangguku dengan berbagai was-was yang akrab sekali."

AMAN

AMAN
@salimafillah

أعقل الناس محسن خائف وأحمقهم مسئ آمن

Insan paling cerdas; dia beramal baik namun tetap merasa ketakutan. Insan paling pandir; dia beramal buruk namun selalu merasa aman.

(Al Imam Ibn Al Jauzi)

"'Ali ibn Al Husain", demikian Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata, "Adalah mahkota hiasan para ahli ibadah dan penyejuk mata kaum muslimin. Hal ini karena banyaknya 'amalan beliau yang sangat masyhur meliputi ibadah, zuhud, wara’, kesantunan sikap, ketinggian adab, dan keluhuran akhlaq.”

Ketika satu-satunya putra yang selamat dari kepiluan Karbala ini wafat di usia 57, galur hitam di punggung jenazahnya menjadi tanda tanya. Begitu malam tiba dan penduduk Madinah tak lagi mendapati ada bahan makanan di pintu-pintu mereka, tahulah mereka bahwa 'Ali ibn Al Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib rupanya yang selama ini berkeliling tiap malam memikul dan membagikan penyangga hidup mereka. Sa'id ibn Al Musayyib, imam para Tabi'in Madinah pun menggelarinya "Zainal 'Abidin".

Maka kami yang menggapai-gapai namun tak sampai ini, di manakah kami?

Suatu hari, Sayyidina 'Ali Zainal Abidin shalat dan berdoa dengan menyembunyikan wajahnya sambil menangis terisak di Masjidil Haram. Imam para Tabi'in Yaman, Thawus ibn Kaisan mengenalinya, maka ditungguinya sang junjungan hingga usai bermunajat, lalu diapun bertanya.

“Wahai cicit Rasulillah , saya tak habis fikir melihatmu melakukan ini", tegurnya dengan penuh adab, "Padahal engkau memiliki 3 jaminan yang memberi rasa aman dan tentram."

"Pertama", unjuknya, "Engkau adalah anak turun Rasulillah . Kedua, adanya syafaat dari kakekmu. Dan ketiga, rahmat Allah bagi Ahli Bait NabiNya .”

"Wahai Thawus, bilapun aku putra Rasulullah , maka hal itu belum menentramkan hatiku, karena aku mendengar Allah berfirman: “Maka tiada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu (kiamat), dan tidak pula mereka saling bertanya.” (QS Al Mu’minun: 101)

Adapun mengenai syafa'at kakekku , maka ia belum menenangkan hatiku, karena Allah berfirman: “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS Al Anbiya': 28)

Sedangkan mengenai rahmatNya, maka sesungguhnya Allah berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Al A'raf: 56) Adapun diriku ini, aku tak yakin kalau ia termasuk golongan yang suka berbuat kebaikan."

Maka kami yang menggapai-gapai namun tak sampai, yang sedikit amal tapi bangga, yang banyak dosa tapi lupa; di manakah kami?

Rumah Buku Iqbal : Pusat Buku Bermutu 



MAKKAH SEDALAM CINTA


MAKKAH SEDALAM CINTA
@salimafillah

Jika kau merindu Makkah, sesekali abaikanlah bayangan tentang gedung-gedung yang menjulang gagah, juga jam raksasa yang berdetak mengabarkan kian dekatnya sa'ah.

Tapi biarkan khayal itu menyusuri bukit-bukit yang kini bebatuannya pecah-pecah, yang di tengahnya dulu terjepit sebuah lembah. Di situlah semua bermula, dalam doa di dekat bangunan tua yang tetap terjaga bersahaja.

Pembawa Kejayaan Akhir Zaman akan Datang dari Arah Timur

Pembawa Kejayaan Akhir Zaman akan Datang dari Arah Timur 
Oleh : Salim A Fillah


SUATU saat kami duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh Dr. Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya Syaikh, berbagai telaah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa ‘Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?”

Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya”, ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya ini siapa yang dipilih-Nya di antara hamba-Nya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka dengan agama & kejayaan itu.”

MAHAR, WALIMAH DAN NAFKAH (Bagian III)

“Litaskunu ilaiha”, makna pertamanya menurut Imam Ath Thabari adalah “Litasta’iffu biha”; supaya kalian mampu menjaga kesucian diri kalian dengan kehadiran suami dan istri dalam kehidupan. Inilah makna paling mendasar dari sakinah.

Adanya istri adalah benteng terkokoh bagi suaminya, agar mampu berlari dari yang keji menuju yang suci, dari dosa menuju pahala, dari nista menuju mulia, serta dari neraka menuju surga. Demikian pula adanya suami bagi istrinya adalah perisai yang akan melindunginya dari segala gerisihati, ucap lisan, dan laku anggota badan yang Allah murkai.

“Litaskunu ilaiha”, makna keduanya menurut Imam Ath Thabari adalah “Lita’tafu Ma’aha”; supaya kalian mampu membangun ikatan batin yang dalam dengannya. Di luar sana boleh ada godaan meraja, tapi ke rumahlah dilabuhkan segala gulana. Di luar sana ada banyak rupa jelita, tetapi di dalam hati hanya ada yang telah terakad suci.

Seperti diungkapkan sesosok pribadi dalam susastra bersahaja. “Istriku”, ujarnya, “Di hadapanku ada ratusan bidadari. Gemerlap mereka bagai kerlip gugus gemintang. Tapi andai kau hadir di sini Istriku Sayang, mereka semua akan hilang terbenam. Seperti halnya bintang-bintang tenggelam tak tampak lagi, kala matahari terbit meninggi. Istriku, engkaulah matahariku.”

“Litaskunu ilaiha”, makna ketiganya menurut Imam Ath Thabari adalah “Litamilu ilaiha”; supaya kalian senantiasa cenderung dalam hati dan akal kepadanya. Agar kita merasa dan berfikir dengan apa yang dirasa dan difikir oleh pasangan kita. Agar kita terus belajar menyatukan cara pandang, kaidah bersikap, tata bicara, dan langgam bertindak; hingga kita mampu saling mengerti meski tanpa bicara, dan saling memahami walau tanpa kata.

“Litaskunu ilaiha”, makna keempatnya menurut Imam Ath Thabari adalah “Litathmainnu biha”; supaya kalian merasa tenteram dengannya. Yakni tenteram ketika sedang berdekatan maupun ketika harus saling berjauhan. Tentram ketika bersama sebab berada dalam rahmat Allah, menikmati detak-detik penuh kemesraan, saling mendukung, dan menguatkan. Dan tentram pula ketika berpisah sebab kepadaNya saling menitip penjagaan, bergiat dalam kesibukan dengan hati yang tak jeda saling mendoakan.

#SAF



#BMC

SAMPAI AL AQSHA MERDEKA



"Jalan menuju Masjidil Aqsha adalah keridhaan Allah", tutur Ustadz Isma'il Haniyah, "Dan ridha Allah adalah bagi orang-orang yang mau berjuang di jalanNya."


Dan orang-orang yang berjuang di jalanNya itu, yang dianugerahi Allah terbebasnya Al Aqsha melalui tangan mereka, adalah orang-orang dengan akhlaq memesona, bahkan bagi musuh-musuhnya. Merekalah cermin kita..

Yusya ibn Nun, murid yang amat berbakti itu, dengan teguh menegakkan Taurat, menghukum dengan tegas prajuritnya yang melakukan pelanggaran, menampilkan keberanian yang dahsyat dan kasih sayang yang sangat.

MENCINTAI SEJANTAN ALI


MENCINTAI SEJANTAN ALI

Oleh Ustadz Salim A Fillah

‘Ali pun menghadap Sang Nabi, maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.


Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantinya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. “Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

HAUS tak BERTEPI


@salimafillah

"Kembali pada Quran & Sunnah" adalah semboyan yang indah. Maka alangkah sedih kalau pada beberapa kesempatan, tampak ia tersempitkan menjadi 'kembali pada terjemah quran & hadits yang kebetulan terbaca', atau penjelasan hanya dari ustadz yang berterima.


Kalau dirasa tiada di sana, hal-hal yang datang dari para 'ulama kadang dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan. Dan sayang, ini sering berpadu dengan ungkapan galak melebihi penagih utang.

Padahal tangga menuju Quran & Sunnah adalah penjelasan para 'ulama, adalah pemahaman salafush shalih. Maka mari hidupkan haus tak bertepi pada ilmu Allah yang seandainya tujuh samudera jadi tinta, takkan habis ia ditulis dengan seluruh pohon yang jadi pena.

Paris dan Kebangkitan yang Rendah Hati [1]


Beberapa dasawarsa ke depan, wajah Jerman lebih banyak mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel, wajah Prancis lebih mirim Karim Benzema

Oleh: Salim A. Fillah

Tada pengambilan yang tak ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar

Apa yang hari-hari ini terjadi di Eropa, barangkali tak terbayangkan oleh laksamana-laksamana penjelajah samudera, serikat dagangnya, para gubernur jenderal, dan raja-raja serta pemerintahan mereka yang sejak lima abad lalu bersimaharajalela mengangkuti berbagai hasil bumi dan sumber daya dunia timur. Semula rempah sahaja; lalu emas dan perak, kopi dan gula, vanili dan jarak, barang tambang dan minyak, bahkan manusia yang diperbudak.

Pada beberapa bangsa, kebudayaan dan sejarahnya turut terenggut; peradabannya musnah.

"Kenyamanan Diri"



Bagian Kesatu, Salim A. Fillah, 2010

***

aku mengenal dengan baik siapa diriku;
dulunya dia adalah setetes air yang hina
kelak akan menjadi sekujur bangkai membusuk
kini dia berada di antara kedua hal itu;
hilir mudik ke sana ke mari membawa kotoran

***

Kita selalu bisa tahu, apakah seseorang yang berada di dekat kita merasa nyaman dengan keberadaan kita atau justru menganggap kita sebagai gangguan. Demikian pula orang yang kita ajak bicara. Mereka memberi isyarat dan tanda dengan bahasa tubuhnya untuk mengungkapkan ketidaknyamanan itu. Kita selalu bisa menangkap gejala-gejalanya.

LAPIS-LAPIS DAKWAH


@salimafillah

Suatu hari di pelataran Masjid kami; Ayahanda Ir. Abdul Kadir Baradja', sesepuh dakwah di Surabaya dan pembina Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) itu tetiba duduk menjajari saya sebakda acara pembukaan Setengah Abad Masjid Jogokariyan.

Betapa hangat beliau memperlakukan para junior seperti kami, mendudukkan diri dengan tawadhu' padahal apalah 'amal bakti kami dibanding segala kiprah beliau selama ini. Dan saya lebih takjub lagi pada pemahaman beliau akan lapis-lapis dakwah.


Dengan pena dan kertas buku tulis, beliau menggambar sebuah persegi panjang lalu membaginya jadi dua dengan diagonalnya. Separuh bagian bawah beliau arsir sehingga berwarna gelap. "Bagian putih ini adalah tingkat pemahaman masyarakat kita pada Islam", ujar beliau, "Dan arsiran hitam ini adalah anasir lain yang masih ada di benak dan hati mereka dari selain Islam."

MAJELIS yang BERBEDA


@salimafillah

Sesekali hadir di majelis yang bukan biasanya kita datangi, barangkali memberi kita satu sudut pandang atau fahaman baru yang berarti. Seperti yang terjadi pada suatu hari di abad kedua Hijri.

Seusai menunaikan manasik, berkumpullah 3 'ulama ahli hadits dari 'Iraq. Mereka adalah Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad ibn Hanbal, dan Yahya ibn Ma’in. Mereka menuju halaqah-halaqah di sekeliling Baitullah. Biasanya mereka menulis hadits dari Sufyan ibn Uyainah dan Abdurrazzaq ash-Shan’ani, penyusun al-Mushannaf.


Namun, di ambang pintu Masjidil Haram, pandangan mereka tertuju pada suatu majelis yang diasuh oleh seorang pemuda berwibawa. Tampak seusia mereka, pemuda itu duduk dengan anggun di kursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang. Para penyimaknya ada dari kalangan muda dan tua, besar dan kecil, kaya dan papa, pejabat maupun kaum jelata. Para hadirin itu bergantian dengan tertib menanyakan berbagai macam persoalan kepadanya.

"RUH-RUH YANG DIAKRABKAN IMAN"


Salim A. Fillah

Begitulah beberapa kali kita tegaskan dalam dekapan ukhuwah ini, bahwa menjadi pembawa kebenaran tak boleh hanya mempedulikan soal ‘mengatakan yang benar’. Dia harus penuh perhatian untuk mengatakan yang benar, dengan cara yang indah, di saat yang paling tepat.

Tetapi ada hal yang lebih mendasar pada beliau-beliau daripada sekedar ‘mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang-orang tertentu, mengetahui kapan harus mengatakannya, dan mengetahui bagaimana cara mengatakannya agar mendapatkan hasil maksimal.’


Apa itu?

Saya takjub membaca kembali selarik sabda Sang Nabi, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentang arwah. “Ruh-ruh itu bagai pasukan yang dibariskan,” ujar beliau sebagaimana diriwayatkan untuk kita oleh Imam al-Bukhori, “Jika mereka saling mengenal, maka bersepakatlah mereka. Jika mereka saling merasa asing, berselisihlah mereka.”

MAKAN


@salimafillah

Apakah yang menjadikan makan terasa begitu istimewa? Barangkali rasa lapar sekaligus siapa kawan bersantapnya.

Saya duga, perjalanan jauh dan kehati-hatian untuk tak sembarang mengudap telah membuat seorang lelaki mulia dalam kunjungannya ke Baghdad kali itu amat keroncongan.


Maka anak-anak Imam Ahmad ibn Hanbal melihat betapa setelah mereka usai makan bersama, si tamu ini menghimpun semua makanan yang tersisa dari tiap wadah ke dalam piringnya dan menghabiskan semuanya. Semuanya.

Lalu diapun beranjak ke pembaringan. Ketika di sepertiga akhir malam Imam Ahmad membangunkan keluarganya untuk qiyamullail, sang tamu tetap tak turun dari peraduannya. Hingga adzan berkumandanglah, maka dia bangkit dari tempat tidur dan berangkat ke Masjid menunaikan Sunnah Fajar dan Shalat Shubuh tanpa berwudhu'. Tanpa berwudhu'.

SALAFI



@salimafillah

Karena kata "salaf", "salafi", dan "salafiyah" adalah sebuah kehormatan bagi setiap yang berada di atas jalan yang ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya, ada syair yang sering dikutip tentang pendakuan dan kenyataan.

"Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila.. Sedang Laila tak merasa kenal satupun dari mereka.."

Siapakah salafi?


Saya dididik di Pondok Pesantren salaf, dalam makna asrama pendidikan yang tak memiliki lembaga resmi berjenjang-jenjang, yang alumninya takkan mendapat ijazah atau lembar kertas apapun yang menunjukkan dia pernah belajar apa, kapan, dan di mana. Kami mengaji sorogan dan bandungan, bermadrasah dan berkhithabah, membaca Maulidusy Syarifil Anam serta mengamalkan Ta'limul Muta'allim; semua mengalir sebagaimana kami memasak dan makan, lalu tidur di lantai berbantal persediaan beras yang membuat tak nyenyak ketika menipis di akhir bulan.

Ini pondok yang kami para santrinya bangga menempelkan stiker di kamar bertuliskan semboyan salaf ala kami itu. Bunyinya, "Lastu kahaiatikum.. Aku tidak seperti pertingkah kalian."

USTADZ SUNNAH


@salimafillah

Ada istilah yang baru-baru ini membuat dahi berkerenyit, ketika sebagian penuntut ilmu membuat kategorisasi adanya "Ustadz Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz apa dan kajian apa?

Dua kemungkinan. Kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "bid'ah", maka berarti ada ustadz bid'ah dan kajian bid'ah. Atau kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "makruhah", berarti ada ustadz makruh dan kajian makruh.


Betapa tak nyaman bagi yang terkena gelaran.

Tidak, saya tak hendak menyalahkan pembuat istilah. Mereka yang bersemangat menuntut ilmu adalah orang-orang yang dimudahkan jalannya ke surga. Betapa saya berharap menjadi bagian dari mereka, walau mungkin hanya senilai anjing bagi Ashhabul Kahfi atau bahkan debu yang menempel di kaki.

SEDEKAT BERSIN


Dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta, seorang pemuda bersin di kursinya. Diapun bertahmid, “Alhamdulillah.”

Dari seberang tempat duduknya terdengar suara lirih namun tegas, “Yarhamukallah.”

Maka diapun menjawab, “Yahdikumullah, wa yushlihu baalakum”, lalu menoleh. Yang dia lihat adalah jilbab putih, yang wajahnya menghadap ke jendela.


Harap diketahui bahwa ini adalah tahun 1980-an. Jilbab adalah permata firdaus digersangnya dakwah, dan ucapan “Yarhamukallah” adalah ilmu yang masih jarang diamalkan. Keduanya terasa surgawi.

Maka bergegas, disobeknya kertas dari buku agenda dan diambilnya pena dari tasnya. Disodorkannya pada muslimah itu.

BEGINILAH KAMI DIPERINTAHKAN


@salimafillah

Dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit, Radhiyallahu ‘Anhuma, berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidh atau penghitungan waris. Menurut Ibn ‘Abbas, sebagaimana bagian cucu sama dengan bagian anak ketika dia tiada, maka bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid. Bagi penulis wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara. “Aku berani bermubahalah dengan Zaid”, ujar Ibn ‘Abbas suatu ketika. ”Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah, tapi tetap samakan bagian anak dengan cucu?”


Tapi ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas meninggal dan muncul persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pendapatnya atau pendapat si faqih Anshar; beliau justru mengundang Zaid untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya. Sebab dia tahu, si mayyit selama hidupnya lebih sering hadir di majelis Zaid dibanding majelisnya.

Zaid pun datang. Setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para Ahli waris, beliau memutuskan perhitungannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya, sebab beliau tahu orang ini berkerabat dekat dengan Faqihnya ummat itu.

RIBUT



@salimafillah

Adalah Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadits tentang shalat sunnah qabliyah Maghrib dan menyatakan keshahihannya. Tetapi sungguh aneh, belum pernah para muridnya menyaksikan beliau mengamalkan ibadah tersebut.

"Mengapa?", tanya mereka.


"Sebab penduduk Baghdad telanjur mengambil pendapat Imam Abu Hanifah", ujar beliau, "Yang menyatakan tiadanya shalat qabliyah Maghrib. Kalau aku mengamalkan hal yang berbeda, niscaya akan menimbulkan keributan di antara mereka."

Meninggalkan suatu sunnah yang diyakini keutamaannya demi terjaganya harmoni masyarakat ternyata adalah 'amal utama.

PENDAPAT 'ULAMA


@salimafillah

Adalah Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang keluar darah dari bagian tubuhnya, maka wudhu'nya batal. Maka suatu hari beliau ditanya, "Apakah engkau akan tetap melanjutkan shalat di belakang Imam yang hidungnya mimisan?"

"Subhanallah", sahut beliau, "Bagaimana mungkin aku tak mau shalat di belakang Ats Tsauri, Al Auza'i, dan Imam Malik?"


Masyaallah. Ini karena Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Al Auza'i, dan Imam Malik rahimahumullah berpendapat bahwa keluar darah semacam ini tidaklah membatalkan wudhu'.

Hadhratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari menulis satu pendapat di jurnal yang diterbitkan NU tentang hukum pemakaian kenthongan untuk memanggil shalat. Beliau menyatakan, jika bedhug masih ditoleransi karena adanya hadits tentang kebolehan menabuh 'duff', maka kenthongan sungguh merupakan bid'ah sebab tidak ada dalil yang dapat mengukuhkannya.