Minggu, 30 Juli 2017

#7 KAPAN IJAB-QABUL?


@salimafillah

"Jawabnya ada di ujung langit.. Kita ke sana dengan seorang anak.. Anak yang tangkas, dan juga pemberani.."


Saya ajukan original soundtrack animasi legendaris ini sebagai alternatif jawaban, barangkali masih ada yang akan ditanya kapan ijab-qabulnya saat Syawalan pekan-pekan ini.

Jawaban ini sesuai hakikat. Dan pernikahan memang memerlukan ketangkasan dan keberanian, sebab ia sungguh berat.

KAPAN LAMARAN? (Bagian III)


@salimafillah

Belum dilamar itu menggelisahkan. Tapi dilamar oleh orang yang belum dikenal lagi tampak tak meyakinkan itu lebih bikin galau.

Demikian pula bagi gadis itu.


Yang diketahuinya hanya bahwa pemuda itu bersemangat sekali untuk segera menikah. Dua kali berjumpa pun dia sudah langsung meminta peta untuk membawa keluarganya datang melamar. Pekerjaannya? Penulis katanya. Tapi karyanya belum pernah dia baca. Punya usaha fotokopi kecil-kecilan. Entah di mana. Masih kuliah. Bahkan usianya baru 20 tahun. Itu lebih muda daripada dirinya.

KAPAN LAMARAN? (Bagian II)


@salimafillah

Karena beratnya pertanyaan "Kapan Lamaran?" ini dalam jumpa-jumpa hari raya, mari kita mulai perbincangan dengan sabar.


“Hanyasanya orang-orang yang bersabar, disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS Az Zumar: 10)

Karena pahalanya tiada terhad, sabar seharusnya tak ada batasnya. Cuma barangkali, bentuknya boleh dipilih.

KAPAN TA'ARUF?


@salimafillah

Ini juga bukan tentang pertanyaan pelik dari handai taulan di saat silatil arham. Ini hanya kisah seorang pemuda 20 tahun yang merasa yakin pada pilihan, meski "nekad" barangkali adalah kata yang lebih tepat.


Dia bertemu calon istrinya pertama kali pada 8 Juli 2004 di rumah seorang Ustadz. Ya, sebab ketakpercayaan diri untuk berikhtiar mandiri, dia percayakan urusan "siapa" pada Allah dan serta guru yang dipandang mumpuni, barangkali agar lebih fokus mempersiapkan "bagaimana".

"Mau calon yang kriterianya seperti apa?", tanya sang Ustadz tempo hari.

KAPAN LAMARAN? (Bagian I)


@salimafillah

Ini boleh jadi juga kalimat yang sering muncul di sekitar hari raya. Soal ini sangat sensitif, apalagi antar sahabat. Mari simak dulu penuturan dari salah satu orang Quraisy paling cerdas, Sayyidina Al Mughirah ibn Syu'bah, sebagaimana dikisahkan Imam Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah.


"Aku meminang seorang gadis", ujar beliau, "Lalu seorang pemuda menasehatiku. 'Demi Allah, jangan kaunikahi perempuan itu. Aku pernah melihat seorang lelaki menciumnya."

"Maka", ujar Al Mughirah, "Aku membatalkan khithbahku. Tapi tak lama kemudian pemuda yang menasehatiku itu menikahi wanita itu. Kutanyakan padanya, 'Mengapa justru kau yang menikahinya? Bukankah kaukatakan kemarin kau melihat dia pernah dicium seorang pria?"

MANA CALONNYA?


@salimafillah

Bukan. Ini juga bukan tentang pertanyaan yang sering mencekat tenggorokan melebihi nastar kadaluwarsa. Bagi sebagian kita, mendapat soalan ini bagai rundungan awan kelabu yang menodai pelangi ceria hari raya.


Kepada para bujang; jodoh sudah tertulis di Lauhil Mahfuzh. Hanya cara kita mengambil menentukan bagaimana Allah memberikannya. Yang dijemput dalam ridhaNya, betapa lembut uluranNya. Yang menyahut pasangan dengan murkaNya, ah tentu akan berbeda rasanya.

Di anggitan ini, saya hendak mengingatkan para Wali anak gadis; ayah, kakek, paman, kakak, adik lelaki dan seterusnya, bahwa tugas mereka soal calon suami para akhawat itu bukan hanya untuk menjadi juri, melainkan panitia seutuhnya.

KAPAN NIKAH?


@salimafillah

Tidak. Kita tak sedang membahas pertanyaan yang sering muncul di seputar Lebaran. Tulisan ini hanya saran kepada para bujang, semoga mereka berkenan menjadikannya pertimbangan.


Banyak pria yang menunggu mapan untuk mulai berrumahtangga. Tapi saya amati, mereka yang menikah di waktu mapan akan dipertemukan Allah dengan pasangan yang memang siapnya untuk mapan. Dari mereka juga akan hadir anak-anak dalam suasana mapan, dibesarkan dalam kemapanan, dan hanya siap tumbuh menjadi generasi mapan.

TERGERAK DI TITIK BALIK


Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan Satu suara dalam kegelapan, satu ketukan pada pintu Dan sebuah dunia yang menggemakannya bertalu-talu -Henry Wardsworth Longfellow, Revere-


Tidak pernah terjadi dalam sejarah, para panglima pasukan musuh, seluruhnya masuk ke dalam agama penakluknya. Kecuali peristiwa yang indah itu; Fathul Makkah. Dan wanita ini ambil bagian dalam kancah itu, dengan sebuah perjalanan yang sulit, dengan cinta yang rumit, dengan mengalahkan dendam yang pahit. Namanya Ummu Hakim binti Al Harits. Di lahir, tumbuh, dan merenda masa depan di tengah keluarga yang paling dahsyat permusuhannya terhadap da’wah Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayahnya, Harits ibn Hisyam, hingga ajal menjemput tak henti memusuhi Sang Nabi. Paman, sekaligus mertuanya adalah Abu Jahl ibn Hisyam, Fir’aun-nya ummat ini. Dan harus kita sebut nama suaminya, ‘Ikrimah ibn Abi Jahl, panglima Makkah yang paling ganas dan ditakuti setelah Khalid ibn Al Walid.

KEKUATAN di PAGI HARI


@salimafillah

Selain Sang Nabi , kita tak harus selalu setuju pada seseorang, tapi kitapun senantiasa dapat mengambil pelajaran darinya.


Hal ini berlaku juga pada 'alim yang banyak dipuji namun juga punya pencaci, Taqiyyuddin ibn Taimiyah, rahimahullah. Memanglah beliau manusia, semestinya punya pendukung, dan wajar pula ada yang tak suka.

"Syaikhul Islam, semoga Allah merahmatinya", demikian Ibn Qayyim sang murid kesayangan bertutur, "Amat kami cintai. Tapi kebenaran lebih besar haknya untuk dicinta daripada beliau."

MENARI DI ATAS BATAS


@salimafillah

Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al Hanafiyah. Dia dinisbatkan pada ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah.


Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi ibundanya bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun langsung Sang Nabi .

Satu saat seseorang mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas dirinya dibanding kedua kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al Husain dibanding dirimu?”