Senin, 31 Juli 2017

Dan Bersamalah, Di Sini


malam berlalu, tapi tak mampu kupejamkan mata dirundung rindu kepada mereka yang wajahnya mengingatkanku akan surga wahai fajar terbitlah segera, agar sempat kukatakan pada mereka “aku mencintai kalian karena Allah.”
-’Umar ibn al-Khaththab


Pada suatu hari, tiga orang berjumpa di salah satu sudut Madinah. Kisahnya jadi canda. Tapi begini keadaannya: yang pertama menebar kepedulian, yang kedua membagi kebijaksanaan, dan yang ketiga memberi damai dengan pemahaman serta pemaknaan. Itulah ‘Umar ibn al-Khaththab berjumpa dengan Hudzaifah ibn al-Yaman dan ‘Ali ibn Abi Thalib. “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?” tanya ‘Umar. “Wahai Amirul Mukminin,” jawabnya, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq, shalat tanpa wudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.” “Demi Allah,” kata ‘Umar, “Engkau membuatku marah!”. “Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?” timpal ‘Ali ibn Abi Thalib. Hudzaifah terdiam, dan tersenyum pada ‘Ali.

Doa Pagi Ini


| ust. Salim Akhukum Fillah


Bismillah…

Do’a Pagi
Oleh: Salim. A. Fillah

Allah, jadikan ikhlasku bagai susu. Tak campur kotoran, tak disusup darah. Murni, bergizi, menguati. Langit ridha, bumi terilhami.


Allah, jadikan dosa mendekatkanku padaMu dengan taubat nashuha. Jadikan ibadah tak menjauhkanku dariMu gara-gara membangga.

KEHAMBAAN KITA DALAM AL FATIHAH


| UST. SALIM A. FILLAH

Kehambaan Kita dalam Al Fatihah @salimafillah

1) Al Fatihah, kesemuanya, adalah bangunan kokoh yang menggambarkan kehambaan. Pengabdian itu dapat berujud cinta, harap, maupun takut.


2) Maka terhimpun; “AlhamduliLlahi Rabbil ‘Alamin” adalah cinta, “Arrahamanir Rahim” adalah harap, & “Maliki Yaumiddin” adalah takut.

3) Di antara Adab meminta; dahului dengan puja. Sebab dalam ketiganya terkandung pujian & pemuliaan pada Allah; setelah itu, berdoalah.

Allah Maha Menutupi Aib


Malam itu, 22 Juni 2013, saya mengikuti acara mabit di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Temanya tentang Move ON. Salah satu pengisi materi kajian adalah Ust Salim A. Fillah.


Beliau bercerita tentang orang-orang yang berjuang move on dari berbagai ujian yang datang kepada mereka. Beliau bercerita tentang Nabi Yusuf a.s. Sebelumnya, saya pernah posting berbagai ujian yang dialami oleh Nabi Yusuf a.s

Ditengah-tengah cerita, beliau bertanya kepada jama’ah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”

SENYUM


@salimafillah

Geleng-geleng kepala dan angguk-angguk, barangkali tidak selalu sama pemahamannya. Antara kita dan rekan-rekan di India misalnya.


Tapi senyum yang tulus maknanya pasti tak jauh berbeda antara satu negeri dengan yang lainnya, di seluruh dunia.

Senyumlah saat bahagia; ia menjaga waspada. Senyumlah saat duka; ia meneguhkan sabarnya. Senyumlah saat berjuang; ia maniskan pengorbanan :)

TAMUNYA 'ULAMA


@salimafillah

Suatu hari seorang tamu berkunjung pada Allahuyarham KH. Ahmad 'Umar 'Abdul Mannan, Mangkuyudan. Tamu ini akrab sekali mengajak berbincang, membicarakan berbagai ihwal seakan dia dan tuan rumah sudah kenal lama.


Kyai 'Umar melayani dengan dhiyafah tuan rumah yang jauh lebih ramah lagi, meski hati dan fikirannya terus bertanya dan mencari-cari, "Ini siapa kiranya?" Beliau betul-betul lupa. Tapi beliau merasa, alangkah akan merisikan hati kalau dalam obrolan semesra itu beliau bertanya, "Mohon maaf, panjenengan siapa ya?"

Maka beliau sejenak pamit beringsut dari ruang tamu. Dipanggillah seorang santri. "Ini ada tamu. Tampaknya kok kenal akrab sekali. Tapi aku betul-betul lupa siapa. Coba kamu temui dan ajak kenalan agak keras agar aku dengar dari sini."

JAMIL: Bagus, Indah, Anggun


@salimafillah

Dalam Al Quran yang mulia; 3 kali kata "Jamil" {bagus, indah, anggun} disebut sebagai cara melaksanakan perintah Allah pada Nabi dan ummatnya.

Penyebutan pertama; {QS 15: 85}; sifat jamil mengiringi perintah berlapang dada untuk memberi kemaafan; "Fashfahish shafhal jamil.. Maka lapangkanlah dada untuk memaafkan mereka dengan kemaafan yang jamil [bagus, indah, anggun].." {QS 15: 85}


Al Imam Ibn Katsir menafsirkan jamil dalam ayat ini dengan {QS 43: 89} "Fashfah 'anhum wa qul salaam.." yakni, "Lapangkan dada untuk mereka dan ucapkan salam nan damai." Adapun Syaikh Muhammad 'Ali Ash Shabuni memaknai jamil dalam kelapangan dada kala memaafkan sebagai; "Pemberian maaf tanpa disertai celaan."

MAHAR, WALIMAH, & NAFKAH (Bagian IV)


@salimafillah

"Adalah Rasulullah ", demikian menurut Sayyidina 'Abdullah ibn 'Abbas, "Melarang 'Ali mengumpuli Fathimah ketika dia menikahinya, sampai dia memberikan mahar baginya."

"Aku tak punya apa-apa", ujar 'Ali.


"Di mana baju besi Huthamiyah milikmu itu?", tanya Rasulullah .

Maka 'Alipun berrumahtangga dengan Fathimah dengan mahar senilai baju besinya. Ketika beberapa orang Anshar menyumbangkan pernik perabotan rumah kepadanya, Sang Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan itu semua, sebab keluarga beliau

LUCU


@salimafillah

“Wahai Imam”, ujar seseorang pada 'Alimnya Tabi'in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya'bi, “Jikalau aku mandi di sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”


Imam Asy Sya’bi tersenyum. “Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”

Imam Asy Sya'bi barangkali tak berniat melucu. Tapi jawaban beliau menerbitkan senyum, sekaligus membawa kita ke perenungan panjang bahwa agama ini mudah, dan siapa mempersulitnya justru akan memayahkan diri sendiri.

Jadi, apakah "lucu" itu?

POTONG ATAS POTONG BAWAH


@salimafillah

Bagaimanakah jika dakwah dilaksanakan tanpa fiqih dakwah?

Ustasz Zaitung Rasming, -demikiang pelafalang nama beliau menurut sebagiang kawang dari Sulawesi-, punya cerita.


"Seorang da'i di negeri antah berantah", demikian tuturnya, "Berhasil membawakan hidayah untuk objek dakwahnya. Masuk islamlah lelaki itu dengan amat bersemangat. Kemudian berkatalah sang da'i kepadanya:

"Karena sekarang Anda sudah menjadi muslim, mari sebentar kita pergi ke dokter bedah!"

"Hah, untuk apa kita ke dokter bedah?", tanya si muallaf.

Kultwit Ustadz Salim A Fillah tentang #Keluarga


Posted on Desember 27, 2011
by ridhoadhie

Satu Tahun sudah usia pernikahan kami, dan saat saat yang paling indah untuk dikenang adalah saat akad nikah terutama khotbah, karena pada saat saat itu saya dan isteri seperti diingatkan kembali mengenai tanggung jawab seorang suami dan isteri.


Pada kesempatan kali ini ijinkan saya mengutip kembali kultwit (kuliah lewat twitter) mengenai keluarga yang pernah di posting oleh Akhina Shalih Arif Nursalim a.k.a Ustadz Salim A Fillah. Insya Allah Kultwit ini bisa menjadi pengingat diri saya sendiri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

1.Selalu ada waktu yang harus terluang untuk keluarga; yang tentang mereka Allah akan pertanyakan kepemimpinan & bimbingan kita.

MAHAR, WALIMAH, dan NAFKAH (Bagian II)


@salimafillah

"Ada 3 orang yang amat tekun beribadah di Masjid pada masa kekhalifahan Sayyidina 'Umar, Radhiyallahu 'Anh", tutur Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi mengutip Ibn Katsir dalam Al Fiqhul Iqtishadi li Amiril Mukminin 'Umar ibn Al Khaththab.


Kepada orang pertama Khalifah bertanya, "Apa yang kaulakukan di sini wahai hamba Allah?"

Orang itu menjawab, "Beribadah, sebagaimana kaulihat wahai Amirul Mukminin."

"Lalu siapa yang menanggung nafkahmu dan keluargamu?"

MAHAR, WALIMAH, & NAFKAH (Bagian I)


@salimafillah

Di antara nilai awal masyarakat Islam adalah bahwa anak perempuan menjadi tanggungan walinya sampai dia menikah, sedangkan anak lelaki berada dalam nafkah orangtuanya hingga dia baligh.


Jadi ada dorongan kuat supaya remaja putra bergegas mandiri. Ketika mereka dewasa, nafkah dari ayahnya barangkali sudah bernilai shadaqah. Sebab status mereka, pria muda pasca-baligh yang masih dibiayai orangtuanya hakikatnya adalah 'fakir miskin dan anak terlantar yang dipelihara oleh keluarganya.'

Begitu.

Barangkali Ayah-Bunda kita yang amat baik hatinya itu memang masih ingin membiayai. Tak apa. Tapi tekad dan upaya sejauh kemampuan untuk segera mandiri pasti jadi kemaslahatan besar.