Kamis, 14 Mei 2015

Hizbut Tunjuk vs Hizbut Thogut


By: Nandang Burhanudin 
****
Pengalaman berinteraksi di dunia maya, saya menemukan tiga gejala mental.
Pertama, mentalitas merasa diri yang terbaik padahal prestasi di dunia nyata minim. Hingga ada yang memposisikan dirinya sebagai ahli hisab dan bisa menentukan si fulan ke surga atau neraka, si fulan kafir atau muslim, si fulan sesuai manhaj Rasul atau tidak.

Kedua, mentalitas tebar fitnah dianggap fakta bila kepada pihak lain, namun akan selalu dianggap fitnah walaupun fakta bila berkaitan dengan dirinya. Kepada orang lain tidak ada istilah tabayyun atau husnuzhann. Tapi jika kepada dirinya, dalil-dalil pung mengalir sampai jauh.

Raja Salman Membutuhkan Ikhwanul Muslimin

Di tahun 1963, Ben Gourion, PM Israel pertama menegaskan, "Tidak penting bagi kami memiliki bom nuklir atau 200 hulu ledak nuklir. Semuanya sama sekali tak memberi manfaat kepada kami. Justru yang terpenting adalah, bagaimana negara seperti Mesir, Syiria, dan Irak berpihak dan menjadi penjamin eksistensi dan entitas kami."

Maka jangan heran, apa yang terjadi hari ini di negara-negara tersebut merupakan penjelmaan dari "sabda" Ben Gourion. Mesir, Syiria, Irak dihancurkan. Malah 100 % menjadi "Satpam" penjaga Israel. Maka krisis antara Saudi vs Yaman, tak terlepas dari mengamankan sisi lain negara Israel, seiring dengan target Israel Raya yang segera dideklarasikan.

18 Narasi Muhammad


Majalah Tarbawi Edisi 223 Th. 11 Rabiul Awal 1431 H/ 11 Maret  2010 M
“Aku bisa berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan butamu dan mengembalikan penglihatanmu. Tapi jika kamu bisa bersabar dalam kebutaan itu, kamu akan masuk surga. Kamu pilih yang mana?”

Itu dialog Nabi Muhammad dengan seorang wanita buta yang datang mengadukan kebutaannya kepada beliau, dan meminta didoakan agar Allah mengembalikan penglihatannya. Dialog yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas itu berujung dengan pilihan yang begitu mengharukan:”Saya akan bersabar, dan berdoalah agar Allah tidak mengembalikan penglihatanku.”

17 Perahu Nuh


Majalah Tarbawi Edisi 218 Th. Muharram 1431 H/ 31 Desember 2009 M


Mereka mengejeknya. Mereka bilang itu pekerjaan yang sia-sia belaka. Mereka bilang tidak ada hajat sama sekali untuk membuat perahu. Lantas Mengapa? Mengapa nuh membuatnya? Tapi toh  tak bergeming. Ia tetap saja melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan keyakinan penuh.

Mereka yang pandangan matanya pendek, selalu hanya melihat hujan yang turun di depan mata mereka. Mereka takkan sanggup melihat awan. Apalagi melihat bagaimana awan menyerap air bumi. Mereka juga tidak bisa melihat bagaimana hujan mengubah wajah bumi kita. Mereka yang pandangan matanya pendek, selalu memfokuskan tatapannya pada hilir dari sebuah sungai. Mereka tidak pernah bisa melihat hulu dari mana sungai itu mengalir. Apalagi menemukan mata air yang menyemburkan air itu.

Sebagian dari kuasa pengetahuan itu terletak pada fakta bahwa ia membuka mata kita untuk dapat melihat lebih jauh dari yang dapat dilihat orang lain, melihat horizon yang lebih luas dari apa yang mungkin dilihat orang lain, dan karenanya membantu tangan kita menjangkau lebih banyak dari apa yang dijangkau tangan orang lain. Pengetahuan membuka mata kita untuk melihat fakta-fakta secara lebih apa adanya, menyeluruh dan jelas terang, dan karenanya membantu kita merekonstruksi realitas dalam kerangka ruang dan waktu, serta menentukan sikap dan tindakan terhadap realitas tersebut.

Pengetahuan yang diperoleh Nuh dari sumber wahyu tentang akan datangnya sebuah banjir besar mengharuskan beliau menyiapkan perahu. Beliau tahu apa yang akan terjadi, maka ia tahu apa yang harus beliau lakukan. Itu sebabnya beliau bekerja dengan keyakinan penuh, menanggapi semua ejekan dengan tenang, santai dan dingin. Beliau melihat lebih jauh dari kaumnya. Beliau lebih antisipatif dari kaumnya. Karenanya beliau bisa menjangkau lebih jauh dari mereka.

Pengetahuan membuat ruang masa depan, dengan segenap peristiwa-peristiwanya, tergambar jelas dalam benak Nuh. Bahwa ada ancaman yang akan membinasakan mereka. Dan itu pasti, karena sumbernya dari langit. Maka perahu adalah tindakan antisipasinya. Itulah sebagian dari kuasa pengetahuan itu; ia membantu kita bereaksi secara tepat, bersikap secara teratur dan bertindak lebih cepat.

Mereka yang memiliki pengetahuan, biasanya memiliki speed of life yang lebih cepat. Speed  itulah yang sering tidak dapat dipahami orang ramai. Maka mereka bereaksi secara negatif; mengejek atau menuduh, bukan bertanya dan mencari tahu.


14 Lembah Ibrahim


Majalah Tarbawi Edisi 219 Th. Muharram 1431 H/ 14 Januari  2010 M

Enam milyar manusia yang menghuni bumi hari ini adalah turunan dari sekitar 12 pasang manusia yang tersisa dan selamat dalam perahu Nuh. Itu sedikit kuasa ilmu yang memberi Nuh kemampuan antisipasi terhadap musibah yang sedang mengancam. Dengan kuasa ilmu yang sama, kita membaca cerita tentang lembah Ibrahim.

Nama itu tak pernah ada. Sebab Qur’an memang tidak memberinya nama. Qur’an hanya menyebutkan ciri: lembah yang tidak ditumbuhi sedikitpun tumbuhan. Jadi anggap saja itu lembah Ibrahim. Itu lembah atau tanah datar yang kering dan gersang. Ke sanalah Ibrahim membawa istrinya, Hajar dan bayinya, Ismail. Lebih dari 80 tahun lelaki itu menantikan kehadiran anak ini, tapi ketika ia hadir di pangkuannya saat keputusasaan memenuhi rongga dadanya, ia justru membawa anak itu ke lembah ini. Bukan Cuma itu. Ia bahkan meninggalkan istri dan anaknya di lembah itu. Seakan-akan ia hanya datang menitip mereka kepada alam.

Kita sering mendengar cerita ini sebagai latar pengorbanan tanpa batas dari sebuah keluarga kenabian. Tapi tidak pernah menanyakan apa rencana Allah di balik itu semua. Itu  jelas bukan rencana Ibrahim. Ia bahkan tidak bisa menjawab hendak kemana ketika Hajar bertanya padanya saat akan meninggalkan mereka. Tapi ketika Hajar bertanya padanya saat akan meninggalkan mereka. Tapi ketika Hajar bertanya, apakah ini perintah Allah yang diwahyukan kepadamu, Ibrahim mengiyakan.

Lembah itu seperti hilang dalam memori sejarah sampai 2500 tahun kemudian ketika Muhammad diangkat menjadi Nabi. Lembah itu yang dikenal dengan jazirah Arab. Dalam isolasi peradaban itulah Ismail beranak-pinak dengan sebuah kabilah yang bernama Jurhum, dari mana kemudian bangsa Arab berasal.