Minggu, 23 Desember 2018

Bersama Al Haq dan Ahlul Haq



“Selalulah bersama kebenaran, walaupun engkau sendirian.”
(Hal-1) Alangkah idealnya pesan ini bagi mereka yang mampu memilah egoisme pribadi dan tarikan negative grafitasi in grouping yang sering tampil menjadi kembaran egoisme itu sendiri. Perasaan ikhlas kadang terkacaukan oleh kecenderungan egoisme akan melahirkan khawarij zaman yang dungu dan menafikan kebersamaan, hanya karena kelemahan umat dalam menggapai injazat (karya-karya) dakwah secara serempak, kemas dan tuntas. Seperti egoism murjiah yang menikmati kelezatan fatalism dan mengolah menunya untuk duduk disantap dengan lahap oleh para tiran: “vonis itu nanti di sana, dan amar ma’ruf nahi munkar tiada guna, dosa jangan disesali dan kebajikan usahlah disyukuri, karena kita cuma setitik debu yang diterbangkan angin takdir kemana ia mau.”


(Hal-2) putus asa telah membuka lebar-lebar pintu nafsu mendorong masing-masing kelompok untuk berbangga diri. Seandainya saja karya-karya mereka dapat dirakit menjadi kesatuan produk umat, niscaya ia akan menjadi mozaik-mozaik indah dalam lembaran sejarah umat. Alangkah indahnya klaim-klaim mereka, kalau saja amaliahnya tidak mencabik-cabik kebersamaan yang dalam tataran operasional nyaris menjadi aksioma kebenaran yang tak pernah takut sendirian dalam keterasingan itu.

Di jalan Dakwah banyak bertumbangan kader dengan kadar militansi yang nyaris total pada momentum yang sebenarnya masih dapat dikompromikan. Sebaliknya, tak sedikit semua itu mencair pada momentum yang seharusnya militansi itu hadir dengan tegar. Semoga Allah merahmati Imam Syafiie yang salah satu qidah figh unggulannya adalah Alkhuruj Minal Khilaf Mustahab (keluar dari khilafiyah sangat disukai). Tentu saja ini berlaku dalam hal yang kompromistik. Tak ada tempat bagi mereka yang sengaja memuaskan syahwat menghindari syari’ah atau produk ijtihad yang representative dengan dalih “inikan perkara khilafiah atau itu kan tafsiran subyektif Ibnu Katsir dan Sayid Quthb.” Atau semangat zaman telah menaklukkan makna hakiki sabda. Akhirnya semuanya boleh kecuali yang bertentangan dengan nafsu mereka. Untuk meyakin-yakinkan public terkadang mereka mengutip kaidah-kaidah Fiqh Dakwah dan pada saatnya mereka terbentur dengan prinsip: “tak semua khilaf datang dengan( bobot) yang pantas diterima, kecuali khilaf yang berakar pada nalar (yang benar).”

(Hal-3) seperti orang yang tak mau shalat hanya karena ada beberapa perbedaan teknis yang mereka tak (mau) tahu batas toleransinya. Atau seorang alim yang menjustifikasi pakaian yang membuka aurat, hanya karena ada perbedaan aplikasi, antara perempuan kota yang resik dan kering dengan perempuan sawah yang sehari-hari bergelut dengan lumpur.

Faqih dan “Sufi”
Pertarungan kedua kubu ini nyaris tak pernah berakhir kecuali di tangan ulama yang menjadikan kefaqihan dan “kesufian” sebagai pakaian diri sebelum menjadi tarikan grafitasi in grouping. Cukup adil vonis yang dijatuhkan Alim Quraisy bagi perseteruan klasik ini.

Menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu saja
Ku nasehati engkau agar waspada
Yang ini keras, hatinya tak pernah mengenyam taqwa
Yang ini jahil, apa dengan jahil bisa lurus sesuatu perkara?

Ketika bidikan menyimpang satu millimeter, apakah peluru yang melesat dari laras juga akan menyimpang satu millimeter dari sasaran? Sebagian kaum sufi yang memuja dzauq (rasa) melecehkan fuqaha yang bersiteguh pada dhawabith (patokan-patokan) yang terkadang terkesan formalistik. Kelak akan kaum pencinta kebenaran yang begitu santun, berbinar hati dan bermagnet besar, dengan kadar penyimpangan fiqh sampai pada   tingkat yang (Hal-4) tak bisa ditoleransikan. Para fanitikus fiqh yang kering ruhani, kerap jatuh pada fatwa yang sofistik (safsathah) dan anarkis. Walaupun terdengar naïf, namun nyata  ada kebanggaan fatwa:

“Seseorang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan, dapat membayar qadha’nya hanya sehari. Syaratnya ia harus membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan makan dan minum.”

Atau kisah 50 santri yang sangat bangga dengan kealiman mereka seraya melecehkan orang-orang yang beragama dengan jahil yang karenanya menjadi susah. Mereka duduk membuat lingkaran. Yang pertama mengikrarkan, 3 ½    liter beras di tangannya menjadi zakat fithr yang ia serahkan kepada santri yang disampingnya. Santri kedua menjadikan zakat yang telah menjadi miliknya itu sebagai zakat bagi santri ke tiga dan seterusnya sampai kembali kepada muzakki yang pertama. Dengan cerdas mereka berhasil membayar zakat fithr 3 ½  liter untuk 50 orang ! semoga ini terobosan “cerdas” 50 orang yang sudah tidak punya apa-apa lagi, selain 3 ½  liter pada seorang diantara mereka.

Di seberang sana tanpa label faqih dan sufi ada seorang perempuan yang menolak kehadiran mertua, karena suami berpesan jangan menerima kehadiran siapapun selama ia musafir. Atau ada seorang laki-laki yang pergi berbulan-bulan meninggalkan anak istri tanpa nafkah, karena alasan perjuangan yang sangat mulia, berdakwah ke segala penjuru mata angin.

Bersama Kebenaran dan Ahlinya
Cinta kebenaran yang memenuhi hati pembelanya mestilah  (Hal-5) melahirkan kebersamaan dan kecintaan kepada ahlinya. Kekeringan ruhani kerap melanda mereka yang begitu menguasai banyak pengetahuan teoritik bahkan mendakwahkannya, namun hati mereka kosong dari kebersamaan dengan para pembelanya. Ketentraman hati dengan pengisahan para rasul adalah aksioma Al Qur’an;

“Dan masing-masing kisah para rasul Kami kisahkan kepadamu, hal yang dengannya Kami teguhkan hatimu…. (QS. Hud: 120)

Namun mengapa masih juga terjadi keraguan dan kegamangan? Karena si ragu dan si Gamang tidak memancangkan receivernya pada gelombang siar yang sama dari pemancar. Hanya ada dua kemungkinan, ia menset gelombang berbeda atau frekuensi yang jauh lebih kuat dari gelombangnya. Bagaimana mungkin siaran bacaan Al Qur’an dari pemancar dapat berubah menjadi rock atau rap di pesawat penerima?

Tinggalkan polemik apakah ruh rasul datang pada momen-momen tertentu. Cukuplah kebersamaannya sesudah kebersamaan Allah memenuhi relung hati, menggemakan pesan firman suci;

“Dan ketahuilah, bahwasanya di tengah kamu ada Rasulullah. Seandainya ia menurut kamu dalam banyak urusan, niscaya kamu akan menjadi celaka. Akan tetapi Allah telah menciptakan kamu akan iman dan Ia menghiaskannya di hati kamu dan ia bencikan kamu kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan… (QS. Al Hujurat:7)

Dalam makna apapun, ikut menikmati kebersamaannya bersama sahabat yang kepadanya ayat ini pertama kali ditujukan menjadi kebahagiaan dan kekuatan dalam (Hal-6) mengarungi kehidupan.

“Siapa yang terluput melihat Al Mukhtar (Rasulullah pilihan)
Lihatlah peninggalannya; Al Qur’an dan Sunnah yang besar”
(Syaikh Naqsyabandi)

Bagaimana mungkin hati ummat dan kadernya di ujung zaman, menjadi kerontang, sementara dalam adzan selalu disebut namanya sesudah nama-Nya. Bagaimana kader merasa lemah, yatim dan terasing, padahal Ia telah nyatakan, para istrinya adalah ibu mereka? Kalau para istrinya adalah ibu mereka, siapakah dia bagi mereka?

Walaupun dalam kapasitas, format dan bobot yang jauh dari generasi para sahabat, namun komunitas dakwah yang memasang gelombang setara dengan pemancar masih ditemukan “Hudzaifah” dan “Umar” seperti juga “Nuaim” dan “Ammar”.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar