HAMEMAYU
@salimafillah
Juni ini,
204 tahun lalu, sebuah kota jelita yang pernah dijuluki 'Versailles Jawa',
luluh lantak.
"Dalam
usaha untuk meyakinkan orang Jawa akan kekuatan Inggris", demikian ditulis
oleh Tim Hannigan dalam karyanya yang apik, 'Raffles and The British Invasion
of Java', "Raffles telah menyerang, menghancurkan, meneror, dan
mempermalukan istana pribumi yang paling berkuasa di Jawa, yaitu Yogyakarta, pusat
gemerlap seluruh warisan keajaiban dan mitologi kuno Indonesia."
Serbuan
dahsyat pada 1812 ini, masih menurut Hannigan, bahkan tak berani dilakukan oleh
para Gubernur Jenderal VOC dan Belanda sebelumnya, tapi akan menjadi teladan
buruk bagi para penguasa kolonial hingga lebih dari seabad berikutnya.
Bombardemen
artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando Kolonel Robert
R. Gillespie telah menghancur-leburkan Benteng Baluwarti terutama di sisi utara
hingga timur serta meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang
indah ini.
Setelahnya,
penjarahan oleh Legiun Infanteri ke-14 (Buckinghamshire) dalam bulan Juli yang
bahkan melibatkan sang Letnan Gubernur Jenderal, nyaris menghabiskan semua hal
berharga dari Yogyakarta; emas dan perak dalam jumlah mencengangkan,
pusaka-pusaka Kraton, naskah-naskah tak ternilai, aneka perhiasan, bahkan
sampai kancing baju Sultan Hamengkubuwana II yang terbuat dari berlian tak
luput dipreteli.
Babad
Bedhahing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditulis Pangeran Panular
mengisahkan bencana itu dengan amat pilu.
Setengah
abad kebangunan dan pembangunan yang dirintis oleh Sultan Hamengkubuwana I
sejak 1756 dibumihanguskan oleh keserakahan pemerintahan peralihan Inggris. Di
masa berikutnya, pengaruh budaya Barat yang lebih merusak dengan leluasa
memasuki relung-relungnya.
Yogyakarta
dengan jiwa perlawanannya yang khas, memang akan bertahan jauh lebih lama dari
penjajahnya. Tapi terseok oleh angkara murka, tercabik oleh perang, dan kini
berada di tangan generasi yang kian samar dari nilai-nilai adiluhung yang
diletakkan sang pembangun, membuatnya tampak kepayahan sekaligus norak.
Bagaimana
para calon pemangku amanah sebagai Wali Kota Yogyakarta ke depan memandang
persoalan ini dan merumuskan rancangan karyanya bagi kota kita tercinta?
Panitia
Setengah Abad Masjid Jogokariyan dan Panitia Kampoeng Ramadhan Jogokariyan
mempersembahkan acara Jogokariyan Dakwah Club untuk mendengar para calon
pemangku amanah ini menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya untuk Kota
Yogyakarta.
Kota ini
harus dikembalikan sebagai ruang hidup yang dibangun di atas poros Sangkan
Paraning Dumadi seperti tergambar dari Panggung Krapyak hingga Tugu
Golong-Gilig, berupa terhayatinya asal kejadian insan dan ke mana ia hendak
dibawa, menuju Allah yang Maha Esa.
Kota ini
juga harus dinakhodai sebuah kepemimpinan yang Hamangku (berkhidmat melayani),
Hamengku (melindungi dengan kasih sayang sekaligus keadilan), dan Hamengkoni (siap
bertanggungjawab atas amanah di pundaknya), serta meneguhkan falsafah Hamemayu
Hayuning Bawana (menambahkan segala nilai yang mempedona bagi keindahan ciptaan
Allah).
Di atas itu
semua, kita amat dahaga akan pembangunan sumberdaya manusianya hingga terkokohkan
karakter nyawiji (menyatu), greget (penuh semangat pada kebaikan), sengguh
(yakin dan meyakinkan), dan ora mingkuh (berani bertanggungjawab).
Sesuai tema
besar "Membangun Kampung Indonesia" dalam peringatan Setengah Abad
Masjid Jogokariyan, pada Sabtu malam Ahad 18 Juni 2016 para bakal calon Wali
Kota Yogyakarta, dipandu Gurunda HM Jazir ASP akan berbincang tentang kota kita
tercinta di Plaza Masjid Jogokariyan. Membangun kampung dari Masjid, sebab
Yogyakarta, adalah Kampung Halamannya Indonesia.
Sugeng
rawuh, sugeng mahargya, sugeng makarya, hamemayu hayuning bawana. Ahlan wa
sahlan untuk hadir dan memeriahkan acara ini.
salam
ta'zhim,
an. Takmir
Masjid Jogokariyan
Salim A.
Fillah
Ketua
Panitia Peringatan Setengah Abad
pic.twitter.com/yAmZZ9VFpK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar