HIDAYAH
@salimafillah
Mendengar
Pak Iwan Setiawan, seorang wirausahawan dan Mas Angga, seorang mahasiswa;
melantun syahadat dengan bergetar di Masjid Jogokariyan kemarin, rasanya ada
yang bergemuruh dalam dada.
Kita selalu
tertegun jika menyimak kisah bagaimana perjalanan seseorang hingga dikaruniai
hidayah. Sesederhana apapun itu. Berpindah dari gelap pada cahaya tak selalu
mudah, bahkan ujian pertama telah datang saat silaunya menusuk mata.
Tapi betapa
beruntungnya, betapa bahagianya.
Alangkah
mahalnya hidayah itu hingga seorang renta yang mengerahkan segenap jiwa raga
dan segala miliknya untuk membela dan menjaga Kekasih Allah pun tidak
mendapatkannya. Betapa mahalnya hidayah itu hingga ada begitu banyak insan yang
disifati Al Quran, "'Amilatun Nashibah.. Tashlaa Naaran Haamiyah.. Bekerja
keras lagi kepayahan. Memasuki neraka yang menyala-nyala."
Dan 'Umar
menggumamkan ayat ini dalam perjalanannya ke Yerusalem, sembari menangis
menatap seorang rahib yang khusyuk meratap di depan patung lelaki yang
disalibkan.
Mari catat
bahwa prinsip pertama memahami semua takdir adalah bahwa Allah Maha Adil, tidak
pernah zhalim.
Maka pasti
ada hikmah indah ketika Rasulullah menyampaikan bahwa ada seorang yang kita
lihat beramal dengan amalan ahli neraka, lalu jarak antara dia dengan neraka
hanya sejengkal; dan telah tertulis bahwa dia termasuk ahli surga sehingga di
ujung hidup dia beramal dengan amalan ahli surga, maka diapun masuk surga.
Mari kita
ulang: "Allah Maha Adil, tidak pernah zhalim."
Maka pasti
ada hikmah indah ketika Rasulullah menyampaikan bahwa ada seorang yang kita
lihat beramal dengan amalan ahli surga, lalu jarak antara dia dengan surga
hanya sejengkal; dan telah tertulis bahwa dia termasuk ahli neraka sehingga di
ujung hidup dia beramal dengan amalan ahli neraka, maka diapun masuk neraka.
Mari kita
ulang: "Allah Maha Adil, tidak pernah zhalim."
Inilah
penegasan agar kita yang mengaku beriman jangan pernah merasa aman-aman.
Ketergelinciran itu sungguh banyak sebabnya. Maka merasa berhajat pada hidayah
Allah adalah hal yang terus kita hidupkan sebagai pilar kehambaan. Itulah doa
terpenting kita sesudah memuji Allah, sesudah mengharap rahmatNya, sesudah
takut pada pengadilanNya, dan sesudah berikrar bahwa hanya padaNya kita
menyembah dan mohon pertolongan.
"Indinash
shiraathal mustaqim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. "
Siapakah
yang merasa aman dari ketergelinciran ini; sedang dosis yang ditetapkan Allah
atas pinta hidayah itu sekurangnya adalah 17 kali sehari?
Siapakah
yang merasa aman dari ketergelinciran ini; sedang untuk menjawab panggilan
adzanpun kita harus menyatakan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Dzat Yang Maha Tinggi?
Siapakah
yang merasa aman dari ketergelinciran ini; sedang untuk membaca Al Quran saja
kita diminta memulai dengan memohon perlindungan dari goda syaithan dan
bergegas menyusuli shalat dan dakwah -bukan dosa- dengan istighfar?
Siapakah
yang merasa aman dari ketergelinciran ini dengan berringan-ringan menyebut
sesama sebagai fasik atau munafik; sedang Hasan Al Bashri ketika ditanya
tentang kemunafikan maka dia menangis dan mengatakan, "Jika orang seperti
'Umar sangat takut bahwa dirinya termasuk orang munafik; tidakkah kita
seharusnya amat curiga bahwa kita jauh lebih munafik? "
Siapakah
yang merasa aman dari ketergelinciran ini dengan bermudah-mudah mengolok sesama
karena dosanya; sedang Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengatakan, "Para
pendahulu kami menyatakan, jika seorang mengejek sesama mukmin atas dosa yang
dilakukannya, niscaya takkan mati dia itu sebelum melakukan maksiat yang sama.
"
Ya Allah,
jangan palingkan hati kami sesudah Engkau beri ia hidayah.. Yaa Muqaalibal
Quluub, tsabbit quluubanaa 'alaa diinik..
https://www.instagram.com/p/BGGd-ErmUag/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar