[In reply to
Salim A Fillah - Quotes Telegram]
TUANKU dari
BENTENG DALU-DALU
@salimafillah
Lelaki
berwajah bulat jenaka namun teguh dan pantang menyerah itu lahir pada tahun
1784 di desa niaga Minangkabau bernama Dalu-dalu, tepian Sungai Sosah, Nagari
Tambusai, di pengaliran hulu Sungai Rokan.
Ayahnya yang
bergelar Tuanku Imam Muhammad Qadli, demikian disebutkan antara lain oleh
Mangaradja Onggang Parlindungan dalam karyanya, 'Tuanku Rao', berdarah
Mandailing dan bermarga Harahap. Maka sang putrapun menyandang nama lahir
Hamonangan Harahap.
Ibunya,
Sitti Munah, asli Minang dari suku Kandang Kopuh, seorang wanita yang 'alimah
lagi shalihah. Hamonangan muda belajar agama ke Rao dan kemudian ke Bonjol,
serta dilanjutkan ke Makkah. Dia lalu dipanggil sebagai Tuanku Muhammad Saleh
sepulang dari Tanah Suci.
Perang
menegakkan agama yang terjadi di bentangan pesisir barat Sumatera hingga
pedalaman Luhak-luhak dan Tanah Batak Selatan telah menjelma menjadi jihad
melawan penjajahan Belanda. Muhammad Saleh segera membangun Dalu-dalu menjadi
benteng pertahanan yang amat kukuh.
Setelah
pertempuran Air Bangis yang dahsyat dan gugurnya Tuanku Rao, perlawanan
mujahidin dipusatkan di Bonjol. Muhammad Saleh yang lalu dikenal sebagai Tuanku
Tambusai bertanggungjawab atas seluruh daerah pengaliran Sungai Rokan dan bahkan
dengan gemilang memperluas perlawanan ke wilayah Natal pada 1823. Tahun 1824,
Tuanku Tambusai memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping,
Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk memukul kedudukan Raja
Gadumbang Siregar, Regent Mandailing di bawah Belanda.
Selama 15
tahun, demikian Muhammad Radjab dalam 'Perang Paderi' menyimpulkan, Tuanku
Tambusai menjadi Panglima Padri paling tangguh yang dihadapi Belanda. Fort
Amerongen, benteng Belanda di Rao berhasil dihancurkannya. Ketika pasukan
gabungan Belanda merebut Benteng Bonjol pada awal tahun 1837, Tuanku Tambusai
bergerak dari Rokan Hulu dan berhasil merebut kembali simbol perlawanan dahsyat
itu, meski kedatangan pasukan Belanda dari Batavia disertai Hulptropen yang
amat besar memaksanya mundur ke Dalu-dalu.
Oleh Belanda
ia digelari 'De Padrische Tijger van Rokan' (Harimau Padri dari Rokan), karena
amat sulit dikalahkan, tak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan
Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout
untuk berunding, meski kedudukan Dalu-dalu kian terjepit.
Pada tanggal
28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu yang tangguh itu jatuh ke tangan Belanda,
namun Sang Harimau lolos dari tangkapan. Dia hijrah dan wafat di Seremban,
Negeri Sembilan, Semenanjung Malaya pada tanggal 12 November 1882.
Esok Ahad
insyaallah perkongsian #RihlahDakwah akan berkhidmah pada para pewaris Tuanku
Tambusai di pengaliran Rokan hingga Kampar, mendampingi ta'lim oleh Gurunda KH
Musthafa 'Umar di Masjid Agung An Nuur Pekanbaru. Ahlan wa sahlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar