Rabu, 13 Mei 2015

11 Keangkuhan yang Rapuh


Majalah Tarbawi Edisi 215 Th. 11 Dzulhijjah 1430 H/ 19 November 2009 M
Karena dunia, dalam benak kita sebagai manusia, adalah lukisan yang  tak selesai, maka selamanya cara pandang kita tentang dunia dan hidup kita akan kenaifan yang permanen. Dan itu akan selamanya akan menurun pada sikap-sikap kita yang juga naif. Sebab sikap-sikap kita adalah buah dari cara pandang  dan pemahaman kita tentang sesuatu.


Sekarang, walaupun kita hidup di tengah sebuah peradaban ilmu dan tehnologi yang canggih, akses yang tak terbatas pada sumber informasi yang juga tak terbatas, bahwa setiap hari kita dicekoki dengan doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, dimana apa yang ada di alas bumi, di perut bumi, dan di angkasa sana, semuanya masuk wilayah penjelajahan ilmu pengetahuan manusia modern; semua itu tidak dapat menghapus fakta bahwa lukisan kita tentang dunia ini tetaplah tak pernah selesai, dan karena kenaifan kita sebagai manusia tetap permanen. Begitulah Allah menitahkan:”Dan tiadalah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit.”
Tapi doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan adalah doktrin yang sebenarnya benar. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban manusia, selalu berbanding lurus dengan kekuasaan. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban manusia, selalu berbanding lurus dengan kekuasaan. Peradaban Yunani, Romawi, Islam dan sekarang Barat, semuanya menjadi pemimpin peradaban manusia di eranya karena basis penetahuan mereka yang sangat kokoh. Bahkan, dalam sejarah nabi-nabi, Sulaiman menjadi begitu berkuasa juga karena pengetahuannya, serta banyaknya ilmuwan yang mejadi pembantunya. Pengetahuan adalah landasan bagi sebuah kekuasaan yang kokoh.

Namun masalah manusia juga muncul dari situ, pertambahan pengetahuan biasanya memang membuat manusia makin berkuasa. Tapi semakin berkuasa, manusia berpeluang menjadi sombong, angkuh dan melampaui batas. Dan itu ironis. Karena pengetahuannya sebenarnya tak pernah lengkap, tak pernah sempurna, jadi alasan untuk sombong dan angkuh juga tidak pernah cukup. Keangkuhan manusia itu selamanya rapuh.

Masalahnya adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan itu adalah sifat Allah. Berbeda dengan sifat Allah yang lain, Allah sama sekali tidak mengizinkan manusia mengambil sifat itu. Maka dosa manusia yang paling cepat dibalas Allah adalah kesombongan. Dan Allah punya ribuan cara untuk memangkas dan bahkan meluluhlantakkan kesombongan manusia itu. Misalnya melalui bencana alam. Sebagian maksud dari begitu banyak bencana alam yang terjadi di dunia adalah meluluhlantakkan keangkuhan manusia itu. Seakan-akan Allah hendak berkata;Coba kalau kamu bisa!
Bahkan ketika salah seorang nabi dan RasulNya, Nabi Musa as, suatu saat mulai merasa terlalu tahu, Allah memangkas perasaan itu di dalam dirinya. Itulah latar dari cerita pembelajaran Nabi Musa kepada Khidir. Itu cara Allah mengajarkan beliau akan makna keangkuhan manusia yang rapuh, makna kerendahan hati, dan kesadaran yang mendalam bahwa,”dan diatas setiap orang yang memiliki ilmu, ada Yang Maha Mengetahui.”

Makna itulah yang diajarkan juga oleh Imam Gazali, bahwa, ” Siapa yang mengatakan dia telah tahu, maka sesungguhnya dia bodoh.” Makna itu pula yang diajarkan Imam Ahmad Ibnu Hanbal ketika beliau mengatakan, “bahwa, Siapa yang mengatakan Allahu A’lam Bishshawab (Allah lebih tahu apa yang benar), maka dia telah mendapatkan setengah pengetahuan.”

Kita tidak akan pernah bisa menjadi pembelajar sejati kecuali kita menyadari ketidaktahuan kita, sekaligus merasakan kebutuhan yang kuat untuk mengetahui.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar