Senin, 25 Mei 2015

25 Sikap Jiwa Pada Teks


Majalah Tarbawi Edisi 233 Th. 12 Sya’ban  1431 H, 29 Juli  2010 M

 Teks memang sudah dimudahkan. Para pewaris nabi juga sudah menjelaskan dan menafsirkannya. Para pembaharu dibangkitkan dari waktu ke waktu untuk memperbaharui memori, pemahaman dan juga komitmen. Tapi persoalan kita dengan teks tidak selesai hanya dengan itu semua.

Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada makna-makna yang rumit. Seperti misalnya para arkeolog ketika mereka menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar pergumulan intelektual.

Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan. Ia adalah content  dari ruang dan waktu manusia. Hanya ketika content  itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul kepermukaan. Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti sekadar pada mengetahui  makna, tapi harus berlanjut pada pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tahapan itu: mengetahui, merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks. Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan. Tapi tahapan ketiga, yaitu melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan teks dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya terpatri di dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan dengan pengalaman. Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan menjadi solid.

Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari seluruh proses pembelajaran kita dengan teks. Tapi justru itu bisa dicapai ketika kita mendekati teks dengan cara yang sederhana: datanglah kepada teks denga pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang saya lakukan dalam hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khattab ketika beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hanyatnya beliau menghapal Al-Qur’an. Katanya: “karena baru saya melaksanakan semua isinya.”


Itulah yang menginspirasi Sayyid Quthub ketika beliau menulis Fii Zhilalil Qur’an. Bahwa sikap jiwa kita kepada teks seharusnya begitu: menerima untuk melaksanakan (at talaqqi lit tanfidz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar