Minggu, 30 Juli 2017

KAPAN LAMARAN? (Bagian I)


@salimafillah

Ini boleh jadi juga kalimat yang sering muncul di sekitar hari raya. Soal ini sangat sensitif, apalagi antar sahabat. Mari simak dulu penuturan dari salah satu orang Quraisy paling cerdas, Sayyidina Al Mughirah ibn Syu'bah, sebagaimana dikisahkan Imam Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah.


"Aku meminang seorang gadis", ujar beliau, "Lalu seorang pemuda menasehatiku. 'Demi Allah, jangan kaunikahi perempuan itu. Aku pernah melihat seorang lelaki menciumnya."

"Maka", ujar Al Mughirah, "Aku membatalkan khithbahku. Tapi tak lama kemudian pemuda yang menasehatiku itu menikahi wanita itu. Kutanyakan padanya, 'Mengapa justru kau yang menikahinya? Bukankah kaukatakan kemarin kau melihat dia pernah dicium seorang pria?"


"Dia menjawab, 'Betul. Laki-laki itu adalah Ayahnya."

Pesan moral kisah penikungan ini; tetaplah yakin bahwa jodoh itu di tangan Allah. Dan milikilah teman yang baik.

Sebagian sahabat kadang bingung tentang kriteria "baik agama dan akhlaqnya". Izinkan saya urun pendapat dari pemahaman sendiri, bahwa terjemahnya bisa kita lihat dari sikapnya pada Allah, pada Ibu, pada sebaya, dan pada kanak-kanak.

Pada Allah dengan keterjagaan ibadahnya. Sebab bagaimana bisa diharapkan setia pada kita, jika pada Allahpun dia berhelah. Pada ibu dengan hormat dan baktinya. Sebab bagaimana dia akan menghargai pasangan, jika pada jalan surganya dia tak ta'zhim. Pada sebaya dengan kejujuran, kesetiaan, tepat janji, amanah, dan ketulusan di kesehariannya. Dan pada kanak dengan perhatian dan cintanya.

Tentang itu semua, kita tak harus berakrab dengannya lama-lama, apalagi dalam pacaran misalnya. Tapi tanyakan pada pihak yang intens berinteraksi dengannya; dari takmir masjid dekat rumah sampai teman arisan ibunya. Kecuali soal kawan, seperti kisah di atas, hati-hatilah di tikungan.

Nah, ketika pada tanggal 18 Juli 2004 pemuda yang kita ceritakan dalam tulisan 'Kapan Ta'aruf?' berangkat ke pelosok Jawa Timur untuk meminang, rombongannya tersesat-sesat jalan karena peta yang digambar si gadis benar-benar peta buta. Berangkat jam 07.00 dengan perkiraan perjalanan 4 jam, baru sampai lokasi pukul 13.30 WIB.

Para tetangga dan kerabat calon besan yang menanti itu wajahnya sangar pula. Rupanya belum makan sebab menunggu tamu yang dari Yogya. Maka baru setelah santap siang, khithbah disampaikan.

Jawabannya?

Agak rumit dalam Bahasa Jawa aras tinggi yang penuh perumpamaan berpilihan kata dari pewayangan. Tapi intinya: 'Lamaran ini diterima, tapi pernikahannya tunggulah 2 atau 3 tahun lagi." Hadirin manggut-manggut. Maklum, kedua calon masih kuliah, si pria baru berusia 20 tahun pula.

Bagaimana nasib calon mempelai lelaki yang sudah ingin menyegerakan separuh agamanya?

(Bersambung ke 'KAPAN LAMARAN?: Bagian II. Foto ini ketika mengantar seorang sahabat pergi meminang sekitar tahun 2006. Alhamdulillah seleranya beda-beda. Jadi tiada tikung-menikung di antara kita.) — di Desa Srikayangan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar