Minggu, 30 Juli 2017

KAPAN LAMARAN? (Bagian II)


@salimafillah

Karena beratnya pertanyaan "Kapan Lamaran?" ini dalam jumpa-jumpa hari raya, mari kita mulai perbincangan dengan sabar.


“Hanyasanya orang-orang yang bersabar, disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS Az Zumar: 10)

Karena pahalanya tiada terhad, sabar seharusnya tak ada batasnya. Cuma barangkali, bentuknya boleh dipilih.


Itu yang dipikirkan si pemuda pelamar ketika dikatakan padanya, "Lamaran ini diterima. Tapi untuk pernikahan, mohon bersabar barang dua atau tiga tahun lagi."

Setelah perjalanan melelahkan selama 6 jam, tersesat-sesat jalan akibat peta yang sukar dibaca bukan buatan, membawa rombongan yang masih geleng kepala sebab "Rumahnya saja belum tahu lha kok dipinang?", selembut apapun nada jawaban itu rasanya bagai palu godam di dadanya yang kadung dibakar semangat menyegerakan akad pengesahan.

Seorang uwaknya mencoba bertanya, mengapa harus sedemikian lama? Wakil keluarga itu menjawab dalam canda yang santun, "Sebab belum genap setahun, keluarga ini juga baru saja mantu. Rasanya tidak enak juga merepoti para tetangga kok lebih dari sekali di tahun yang sama. Tentu juga, kami belum pulih betul secara keuangan dari penyelenggaraan walimah sebelumnya, ha ha ha."

Hal seperti ini, memang haruslah amat dimengerti. Tapi hasrat hatinya meyakinkan sekali, bahwa hukum menikah khusus baginya sudah dekat pada wajib kiranya. Duhai, memang belum dinamakan cinta, tapi sudah begitu merisaukan dada.

Maka dikerahkannyalah segenap kemampuan Bahasa Jawa Krama Halusnya. Dicobanya menyusun kalimat sesantun mungkin, selembut mungkin, dengan menekankan pengertian, penghargaan, serta penghormatan setinggi mungkin pada keluarga ini.

"Nun nadhah duka saha nyadhong agunging pangaksami", begitu pembukanya. Kalimat ini harfiahnya bermakna, "Saya siap menahan segala rasa pedih dimurkai dan menghaturkan mohon ampun sebesar-besarnya."

"Sudah menjadi niat sesuai keadaan diri saya untuk segera menikah", ujarnya menguat-nguatkan hati. "Belum menjadi soal bagi saya, dengan siapanya. Saya yakin, jodoh sudah ditetapkan Allah. Maka jika yang tertulis di sisiNya itu bukan putri dari keluarga ini, mohon izin dan mohon doa restu Pak, kami segera pamit. Mudah-mudahan bahkan di perjalanan pulang nanti, Allah karuniakan jalan untuk segera menikah, tidak perlu 2 atau 3 tahun menanti. Saya juga mendoakan semoga putri Bapak mendapatkan yang lebih baik insyaallah."

Ayah si pemuda melotot menatap putranya. Wajahnya seakan bicara, "Kamu ngomong apa heh?" Ada pula tamu yang sedang minum jadi tersedak, batuknya menjadi suara latar bagi keheningan yang membuat semua saling pandang.

Sabar tak ada batasnya. Tapi bentuknya dapat dipilih.

Menunggu 2 atau 3 tahun adalah kesabaran. Tapi bagi si pemuda, penantian itu amatlah berbahaya. Dua atau tiga tahun dengan calon yang telah bernama dan di depan mata. Tipu daya syaithan memang lemah. Tapi ia sudah berpengalaman bukan hanya sejak zan Fir'aun pakai behel, tapi sejak Adam dan Hawa masih bermukim di surga.

Atau bagaimana jika ada ujian di sisi lain; bagaimana jika dalam masa tunggu itu dia dipertemukan dengan sosok berbeda yang tampak lebih baik daripada yang sudah dikhithbah? Bukankah hati akan bertambah runyam?

Maka kini, nothing to loose. Ditolak menikah sekarang, ditolak lamaran yang bergegas, lalu harus mencari lagi yang lain yang bersedia digesa, adalah juga kesabaran.

Puisi hati pertamanya tergumam lirih. "Aku bukan tak sabar. Hanya tak ingin menanti. Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran. Karena terkadang penantian, membuka pintu-pintu syaithan."

Beruntunglah mereka yang dikaruniai calon mertua dengan cara berfikir out of the box.

Ketidakpatutan ucapan si pemuda dalam forum seterhormat lamaran yang disaksikan puluhan mata, bagi si Bapak rupanya penanda bagi kekuatan tekad, keluhuran niat, serta keterampilan berbudi bahasanya. Maka beliaupun justru berfikir, "Ini makhluq langka. Patut dilestarikan."

"Ya, tidak begitu Mas. Tentu semua kemungkinan masih terbuka. Insyaallah kami juga memandang, disegerakan lebih baik. Kapan kiranya yang dikehendaki?"
"Dari Yogya ke sini, alhamdulillah saya sudah menghafal lafazh ijab-qabul Bahasa Arab, Jawa, maupun Indonesia Pak. Insyaallah sekarang pun siap."

"Wah, ya jangan sekarang. Kan perlu persiapan-persiapan ya."

Alhamdulillah, setelah sang Bapak bolak-balik ke belakang berunding dengan istri dan putrinya, rupanya diplomasi ini sukses mengubah 2 atau 3 tahun menjadi hanya 1 bulan. Lamaran ini terjadi pada 18 Juli 2004, pernikahanpun disepakati akan dilaksanakan pada 20 Agustus 2004.

Si pemuda hingga hari ini masih heran, entah dulu dari mana dia mendapat kekuatan untuk bicara seperti hari itu. Memang kalau sudah bertekad, bertawakkal saja pada Allah. Dan cintanya memang berbeda.

"Ada dua pilihan ketika bertemu cinta. Jatuh cinta, ini sakit. Atau bangun cinta, ini sulit. Padamu aku memilih yang kedua, agar cinta kita menjadi bangunan istana, tinggi menggapai surga."

(Foto: mengantar pernikahan seorang sahabat sekira 2008: rupanya patut pula saya memakai Tanjak Plembang. Cerita lamaran akan bersambung dari sudut pandang si gadis insyaallah.) — di Masjid Al Ikhlas Semin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar