Senin, 31 Agustus 2015

70 Tahun Merdeka, Indonesia Tiada


By: Nandang BUrhanudin

****
Para pendiri dan pahlawan negeri ini, bisa jadi tengah menangis melihat negara yang dimerdekakan dengan darah dan air mata, kini tunduk pada kepentingan penjajah. 70 tahun merdeka, rakyat makin bodoh dan mudah dibodohi. Kekayaan alam diserahkan tanpa perlawanan, atas nama ketidakmampuan. Jika zaman penjajahan, rakyat dipaksa kerja rodi atau romusha. Pun mereka harus membayar upeti, kini hal yang sama terjadi. Rakyat diperas dengan pajak yang semakin mencekik leher. Sementara penggunaan pajak, tak pernah dirasakan.

Hal minimal kemerdekaan adalah. Setiap jiwa terhindar dari jeratan kekufuran dan kefakiran. Kufur yang membuat dirinya diperbudak, lalu menghambakan diri kepada selain Allah, Rabbul 'Izzati. Namun apa yang terjadi setelah 70 tahun merdeka, rakyat Indonesia justru diperbudak "secuil rupiah". Lalu menggadaikan idealisme ke-Islaman dan keIlahiyan. Kekufuran model jadul, berupa mendatangi dukun, percaya tuyul dan takhayul, hingga rela berbuat cabul. Kini di era yang katanya modern, sebagian malah menjadikan kekufuran menjadi tren. Ada yang menjual keIslamannnya demi meraih beasiswa lembaga-lembaga dunia yang notabene Yahudi. Ada pula yang melacurkan diri ke dalam kekufuran aliran sesat, yang notabene hasil produk penjajah itu sendiri.

Kemerdekaan dari kefakiran. Tanda orang terbebas dari fakir adalah, saat ia mampu mendapatkan jaminan kenyamanan dalam pendidikan, kesehatan, dan pangan. Bila negara yang konon kafir seperti Australia, mampu memberikan jaminan kebutuhan pokok secara gratis. Namun Indonesia dengan jumlah pencapaian pajak yang "wah" dan sumber daya alam yang berlimpah, justru tak mampu menjamin apapun walau hanya stabilitas harga "kacang kedelai". 70 tahun merdeka, rakyat Indonesia makin papa. Kini di era rezim Jokowi, semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Sementara pasar yang ada, 98 % telah dikuasai Asing dan Aseng dari hulu hingga hilir.

Maka di titik ini, jihad kita adalah melawan segala bentuk ketidakadilan. Walau kita pun sadar, semua alat negara telah dikangkangi pemilik modal. Strategi ala China menjadi tren. Yaitu mengembalakan pejabat yang bisa diajak kerjasama dengan penjahat. Gaya-gaya model Om Liem, kini digunakan Ahok di Jakarta atau Jokowi di level nasional. Meninabobokan aparat negara seperti TNI dan Polri, kejaksaan, hakim, dan PNS dengan ragam fasilitas. Tujuannya aparat menjadi alat yang jinak, lalu mendukung segala tindakan "anarkisme" penguasa dalam memiskinan dan mengkafirkan rakyat Indonesia.

Maka wajar, faktanya Negara tak pernah ada dalam kehidupan kita. Sebagai rakyat kita mengalami kelacuran kemandirian. Hidup tidak hanya autopilot. Tapi hidup kita tak ada lagi yang mengatur, selain diri kita sendiri. Adakah peran dan fungsi negara saat kita sakit, tidak memiliki modal usaha, bangkrut, pendidikan? Sama sekali tidak ada. Negara di zaman Dajjal saat ini, membiarkan kita hidup. Tapi hidup seperti kecebong, yang tak akan pernah bisa besar dan setiap detiknya terancam kematian. Namun sayangnya, kebanyakan rakyat generasi kelahiran tahun 80-an, telah mengalami pikun dibodohi generasi tua yang dikomandoi Mbok tua, yang kini terkena virus jumawa.

Pasted Form: Laman facebook ust. Nandang Burhanudin https://www.facebook.com/aufainternational
09 Agustus  2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar