Senin, 31 Agustus 2015

27 Pengosongan Jiwa

27 Pengosongan Jiwa
Majalah Tarbawi Edisi 235 Th. 12 Ramadhan-Syawal  1431 H, 23 September  2010 M

Datanglah kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah jalannya. Jika keangkuhan adalah kendalanya, maka jauh sebelum manusia mendatangi teks mereka harus terlebih dahulu belajar tentang kerendahan diri. Hanya dengan begitu teks menemukan tempatnya yang terhormat dalam jiwa kita. Dan hanya ketika ia menjadi terhormat maka ia akan dipandang utuh dan apa adanya.
Kerendahan hati sejatinya merupakan penampakan akhir dari iman. Sebab iman melahirkan pengakuan. Pengakuan membuahkan kepasrahan. Kepasrahan menampak dalam ketundukan. Ketundukan mengejawantah dalam kerendahan hati. Jadi begitu kita menerima keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks, kita menyiapkan jiwa kita untuk menerima semua makna yang mencerahkan di balik teks tersebut.

Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan melepaskan teks berbicara apa adanya, membiarkan teks menampakkan diri dan maknanya tanpa berusaha membuat plot pada makna tertentu yang kita inginkan. Kita harus belajar teks mengalir dalam akal dan jiwa kita seperti air mengaliri sungai mengikuti arusnya, merasakan derasnya, mendengarkan bunyinya, menikmati gelombangnya, menatap beningnya, melepaskan pandang pada riaknya yang mungkin menyembunyikan gelora dari permukaan.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan membebaskan diri dari apa yang oleh sayyid Quthub disebut sebagai muqorrarat fikriyah saabiqah atau pikiran-pikiran lama yang sebelumnya kita yakini secara aksiomatik. Karena pikiran-pikiran terlalu sering menjadi preferensi kita dalam memaknai teks. Padahal belum tentu teks tersebut terhubung ke sana. Itu membuat teks masuk dalam perangkap pemaknaan kita yang sempit dan menghilangkan begitu banyak kemungkinan makna yang terkandung di dalam teks tersebut.
Walaupun makna teks yang kita pahami kemudian tetap merupakan kebenaran subjektif, adalah penting untuk menyadari sejak awal bahwa karena iman merupakan pilihan keyakinan yang subjektif, maka kebenaran subjektif itu juga merupakan bagian dari proses penyatuan kita dengan teks yang tidak perlu dipertentangkan dengan keharusan menyisakan ruang bagi pemaknaan yag lain atas teks.
Masalahnya tidaklah terletak pada kemungkinan pemaknaan yang beragam. Sebab teks sendiri membuka ruang itu. Intinya adalah pada kerendahan hati yang membebaskan kita dari semua pretensi pemaknaan yang memungkinkan teks lebih bebas dan lepas menampakkan diri bersama makna-maknanya secara apa adanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar