Jumat, 07 Juli 2017

SEMUA ADALAH MUSAFIR

Salim A. Fillah

SEMUA ADALAH MUSAFIR

-sebuah pengantar-
Syahdan, seorang musafir mengunjungi rumah 'alim besar di suatu kota, yang dengan amat memesona baru saja menyampaikan sebuah khuthbah Jumat nan tersimak dengan khusyu'.

Memasuki sebuah ruangan dalam bangunan amat bersahaja, dia tak menemukan apapun di sana selain senyum yang tulus, air yang sejuk, dan sajian siang yang dihulur lembut dalam wadah bersahaja. Ketika mengedarkan mata, selain alas yang didudukinya, tak ada benda lain yang lazim mengisi rumah. Kosong. Tapi terasa lapang. Melompong. Tapi tak hampa.


"Wahai Syaikh", tanyanya memberanikan diri, "Di manakah perabotan dan perkakas rumahtangga Anda?"

Orang arif itu tersenyum. "Ah iya. Nah, di mana pula perabotanmu, Anakku?"
"Saya ini kan seorang yang hanya berkunjung", jawabnya heran atas pertanyaan.
"Sama anakku, heheh.. Sama", terkekeh Sang Syaikh. "Aku juga hanya pengunjung di dunia ini."

Ada makna yang sungguh dalam pada perbincangan ini. Seakan ia pengejawantahan sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam kepada Ibnu 'Umar Radhiyallaahu 'Anhuma yang direkam Imam Al Bukhari. "Jadilah engkau di dunia bagai orang asing", ujar beliau, "Atau musafir yang menyeberangi jalan."

Sayyidina 'Abdullah ibn 'Umar menggarisbawahi dengan menyatakan, "Jika kau berada di waktu sore jangan menunggu waktu pagi. Jika kau berada di waktu pagi jangan menunggu waktu sore." Ini penekanan tentang waktu pulang yang rahasia, seringnya tiba-tiba, dan panjang serta rumit perjalanannya di sebalik pintu bernama maut.

Barangkali setiap orang punya kiat masing-masing untuk menjaga hakikat makna ini di dalam hati. Adalah Imam Asy Syafi'i selalu berjalan dengan bertelekan tongkat meski usianya masih muda dan tubuhnya masih perkasa. Beliau masyhur dapat menunggang kuda tanpa pelana sembari memegangi kupingnya, dan jika membidikkan 10 anak panah, tak satupun yang luput dari sasarannya.

Maka seseorang bertanya, "Buat apa engkau bertongkat padahal umurmu masih belia dan badanmu pun tampak kuat?"

"Untuk senantiasa mengingatkan diri", ujar beliau sembari tersenyum, "Bahwa aku ini hanya musafir yang mampir. Singgah untuk mengabdi saja, tidak tinggal selamanya."

Perjalanan kita, ujungnya kelak adalah sebuah pengadilan. Maka mereka yang cerdas dalam langkah-langkahnya akan mempersedikit beban dan memperbanyak bekal, serta mengurangi para penggugat dan menambah pembela hingga berlipat.

Adapun seisi bumi, sebagaimana tangan dan kaki, akan bersaksi nanti ketika mulut dikunci. Bepergian di muka bumi untuk memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan Allah; diperintahkanNya pada kita agar ruh terisi niat-niat bakti, akal menginsyafi besarnya karunia, dan seluruh jasad tersengat semangat untuk menebar manfaat. Lalu tiap butir pasir, tiap serpih debu, tiap hirup nafas, tiap ayunan langkah, tiap pijak tapak, bahkan tiap gores luka terharapkan menjadi pemberat timbangan kebajikan.

Sungguh Nabi melarang kita memayahkan diri melaksanakan rihlah, kecuali tuk menuju Masjidil Haram, Masjid beliau di Madinah nan bercahaya, serta Masjidil Aqsha di Palestina. Yang terakhir ini bahkan difatwakan para 'ulama untuk ditunda sementara, sebab kiblat pertama shalat kaum muslimin itu sedang dijajah oleh Zionis. Sebagaimana dulu para sahabat baru berbondong ziarah ke sana sesudah ia dibebaskan dari Romawi pada masa kekhalifahan 'Umar ibn Al Khaththab; adalah bijak menunda hingga ia merdeka agar tak serupiahpun masuk ke kas negara penjajah yang menurut Konstitusi kita "harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Tapi tentang safar untuk berilmu, berdakwah, dan jihad fi sabilillah, jelas bahwa ia pengecualian yang indah, terlihat dari amat bersemangatnya para Salafush Shalih sejak generasi Rasulullah beserta para sahabat, hingga pengikut mereka para Ahlus Sunnah. Janganlah dulu menyebut pengembaraan Sa'd ibn Abi Waqqash atau Atha' ibn Abi Rabah yang menyejarah, hingga Imam Ahmad atau Al Bukhari yang satu haditspun diburu menyeberangi gurun dan samudera. Sekedar yang lebih mutakhir seperti Al Hafizh Ibnu Mandah saja dikatakan mengembara sejak usia 20 hingga 65, memiliki 1700 guru dan puluhan ribu murid.
Yaa Rabbanaa, di manakah kita?

Tetapi demikianlah serakan tulisan ini saya serahkan pada pembaca tetaplah demi memamerkan kebodohan diri; agar yang bengkok diluruskan, yang salah dibetulkan, yang kurang dilengkapkan. Juga agar semangat ini menyengat mereka yang jauh lebih berhak mengemban dakwah dengan ilmu yang mumpuni dan ikhlas terjaga di hati.

Akhirnya, selamat berrihlah dalam dakwah. Selamat melawat berburu hikmat. Sebab kita semua adalah musafir.

Karena perjalanan dakwah dengan kejutan-kejutannya seringkali punya kisah ikutan yang melampaui kesimpulan. Riwayat berikut barangkali dipertanyakan karena dipandang terlalu melebihkan karamah sebagian insan yang dipandang sebagian ummat sebagai waliyyullah. Namun sebagai kisah penutup bagi pengantar ini; yang hendak kita ambil adalah ruh dakwahnya; prasangka baik dan merayu-rayu hati manusia ke jalanNya.

Adalah Imam Abu Yazid Al Busthami suatu malam mimpi berjumpa Kanjeng Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam jumpa di mimpi benar itu beliau bersabda, "Besok engkau akan mengunjungi sebuah kota. Sampaikan salam dariku pada si Fulan yang tinggal di kota itu."

Benar, dengan semangat meluap Abu Yazid mendatangi kota tersebut. Tetapi dia segera disergap ragu begitu mendengar penjelasan orang-orang bahwa sosok yang padanya Rasulullah menitip salam itu ternyata seorang yang selalu menghabiskan waktunya dari bakda 'Isya' hingga jelang Shubuh di kedai khamr. Ah, barangkali mimpi itu keliru, pikirnya. Maka dia menghabiskan waktunya dengan beri'tikaf di Masjid Jami'.

Tapi malam berikutnya Abu Yazid kembali didatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Bahkan kali ini beliau menghardik, "Mengapa salamku belum kausampaikan?" Gemetarlah sang Imam ketika bangun. Tapi pada siang itu begitu banyak orang yang meyakinkannya, "Tuan Syaikh, sungguh tak patut orang mulia sepertimu mendatanginya di tempat maksiat laknat. Dan sungguh kami tak mengenalnya kecuali sebagai pelanggan kedai mabuk-mabukan itu."

Abu Yazid kembali menenggelamkan diri beri'tikaf di Masjid. Dan malam itu di tengah tidurnya, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam mengancam, "Jika besok salamku tak kausampaikan, kau takkan berjumpa denganku di akhirat." Keringat dingin membanjiri tubuh Abu Yazid. "Sungguh celaka kalau sampai terhalang dari jumpa Rasulullah", batinnya.

Malamnya, dengan menguat-nguatkan tekad dan membetah-betahkan malu, dia mendatangi kedai arak itu. Pelayan kedai menunjukkan tempat Si Fulan duduk, orang itu tampak sedang bersenda-gurau dengan sekumpulan biang-tuak yang kelihatan sudah mabuk berat semua!

Abu Yazid tertegun. Baru saja dia membalikkan badan hendak keluar kedai, terdengar ada yang memanggil namanya,
“Hai Abu Yazid!”
Ia kaget sekali, ternyata yang memanggilnya adalah Si Fulan! Dari mana orang itu tahu namanya?

Fulan mengajaknya duduk dan memperkenalkannya dengan teman-teman minumnya. Setelah sejurus meramah-tamahi kumpulan pemabuk itu, Abu Yazid diajak menyingkir sedikit untuk bicara bisik-bisik berdua.
“Kamu bawa kiriman buatku ya?” Fulan menagih.
Abu Yazid mengangguk.

“Salam dari Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh…”
“‘Alaika wa ‘alaihissalaam warahmatullaahi wabarakaatuh”, mata Fulan berkaca-kaca.

“Begini”, Fulan melanjutkan tanpa peduli pandangan mata Abu Yazid yang penuh tanda tanya, bagaimana bisa Rasulullah mengirim salam untuk pelanggan pusat maksiat ini, “Sudah lama sekali aku tiap hari nongkrong disini… Kaulihat orang-orang mabuk itu?”

Abu Yazid melirik mereka dan mengangguk. Fulan menepuk-nepuk bahunya.
“Kelompok mereka itu tadinya ada sekitar 40 orang. Sekarang tinggal delapan. Nah, salam dari Kanjeng Nabi ini penanda tugasku berdakwah di sini sudah selesai. Yang tersisa itu bagianmu, kuamanahkan padamu.”

Fulan pergi meninggalkan Abu Yazid bersama sekumpulan orang teler yang menjadi jatah dakwahnya.

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Bumi Allah, 20 Februari 2016
Salim A. Fillah

Hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, relawan yang terbatasi kedhai'fannya. Semoga Allah merahmati, memberkahi, dan meridhai si faqir ini.

NB: InsyaaLlah kita jumpakan bedah bukunya di Teras Dakwah, besok Rabu 13 April 2016 ..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar