Selasa, 04 Juli 2017

NYAMASLAM dan KETUT JELANTIK

NYAMASLAM dan KETUT JELANTIK
@salimafillah

"Engkau akan bertemu dengan para Ahli Kitab", begitu sabda Nabi seperti termaktub dalam Shahihain kepada Mu'adz ibn Jabal kala mengutusnya ke Yaman.

"Hendaklah pertama-tama yang kau dakwahkan pada mereka adalah bahwa tiada Ilah selain Allah."


"Jika mereka telah menerima apa yang kau dakwahkan", lanjut beliau , "Maka berikutnya sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka telah menerima apa yang kau serukan, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan pada orang-orang fakir di antara mereka. Dan jika mereka telah menerima apa yang kau serukan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya dengan Allah."

"Dalam hadits ini", demikian Syaikh Muhammad ibn Shalih Al 'Utsaimin mensyarah, "Tampak bahwa ilmu dalam dakwah bukan hanya tentang apa yang akan disampaikan; melainkan juga bagaimana mengenal keadaan objek dakwah, mengerti cara menyampaikannya, memahami prioritas, bertahap dalam seruan, dan menjaga diri dari melanggar batasan yang akan meruntuhkan seluruh bangunan dakwah."

Nah, siapa yang kita jumpai di Bali dan bagaimana fiqh dakwahnya?

Ketika Maulana 'Utsman Hajji, ayahanda Sayyid Ja'far Ash Shadiq alias Sunan Kudus itu pertama datang ke Majapahit dan menjadi pelatih tentara kerajaan, kepribadiannya yang tegas namun hangat membuat para prajurit yang dilatih amat menghormatinya, bahkan sebagian turut bersyahadat memeluk Islam.

Tersebut dalam Babad Dalem yang memuat kisah para Raja di Pulau Dewata, bahwa pada abad XV sebanyak 40 prajurit Majapahit beragama Islam mengawal kepulangan Raja Dalem Waturenggong dari Gelgel setelah seba ke Trowulan. Mereka lalu memutuskan mukim di Gelgel dan dikenal sebagai muslimin pertama di Jazirah Bali. Orang Bali menyebut mereka Nyamaslam, "Nyama" berarti saudara dan "Selam" bermakna Islam.

Salah satu buah dakwah paling ranum mungkin ada di Buleleng, bekas kerajaan yang beribukota Singaraja. Adalah Gusti Ketut Jelantik, nama yang menyejarah itu. Ya, ada banyak lelaki hebat yang menggunakan nama ini. Beberapa diantara mereka memangku jabatan Raja, baik dari Dinasti Kepakisan-Panji Sakti maupun Wangsa Karangasem.

Yang paling masyhur adalah pahlawan bangsa itu, Mahapatih Buleleng yang berjuang mempertahankan Benteng Jagaraga dan Kerajaan yang amat dicintai lagi mencintainya selama kurun 1846-1849 hingga gugur dalam puputan.

Yang lain, Gusti Anak Agung Ngurah Jelantik Celagi adalah seorang pangeran Buleleng yang dengan amat tekun mempelajari Islam di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Yusuf Shalih.

Ketika dinyatakan lulus, dia mengkhatamkan penulisan sebuah Mushhaf Al Quran yang berkhath indah dengan hiasan ornamen Bali pada sekira 1820.

Atas anugrah dari Kakandanya, Raja Gusti Anak Agung Ngurah Jelantik Polong, didirikanlah Masjid Jami' Buleleng pada 1846. Sang Pangeran bersama Sayyid 'Abdullah Maskati menjadi pengurus dan pembinanya.

Ke arah selatan dari Buleleng, di Bukit Gigit tinggal masyarakat muslim Pegayaman. Mereka hidup dalam budaya yang sama dengan warga Bali umumnya. Anak pertama disebut Wayan, anak kedua Nengah, anak ketiga dan keempat masing-masing Nyoman dan Ketut. Nama Wayan Arafat dan Ketut Ahmad Ibrahim, terdengar begitu unik.

"Burdah", yang semula adalah judul qashidah karya Imam Al Bushiri, di daerah ini menjadi nama sebuah kesenian. Diiring rebana yang lebih mirip gendang Bali, disenandungkan syair indah yang sekilas mirip Kidung Wargasari, tapi bukan dalam Bahasa Bali maupun Jawa Kuna, melainkan Arab.

Sepanjang dinasyidkannya syair itu, seorang muda tampil di pentas. Kepalanya diikat udeng, dengan memakai kamben mekancut, kain yang melilit pinggang dan ujungnya terjurai dengan ujung meruncing sampai di bawah lutut. Dia meliak-liukkan badan, dan memainkan mata serta jemari, seperti lazimnya dalam tarian Bali. Tapi haki kat sebenarnya konon ini adalah gerakan ketangkasan silat yang diwarisi dari moyang mereka yang adalah para prajurit muslim.

Siang tadi, saya bersama Masaji Wijayanto pemeran Yudi dalam  #‎kmgpthemovie  menemani Shalih(in+at) di Denpasar mengapresiasi karya Bunda @helvytianarosa dan sutradara Firmansyah ini.

Dalam tafakkur saya terus mencari-cari, pendekatan dakwah seperti apa yang terus harus saya khidmahkan setidaknya melalui kajian rutin Majelis Jejak Nabi. Dalam hati saya terus mendoakan, bahwa mereka, para Shalih(in+at) Bali akan terus menjadi duta-duta Rasulillah dalam menampilkan cahaya bening Islam dan menjadi wasilah Allah menebar rahmatNya di jazirah yang dakwahnya penuh tantangan.

Syabas untuk para penabur cahaya Allah di Bali. Baarakallahu fiikum.


Semoga @masaji_ yang berpengalaman memerankan Yudi si da'i kreatif kelak juga banyak berkontribusi. Ya Allah, ridhailah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar