Rabu, 02 Agustus 2017

MAJELIS yang BERBEDA


@salimafillah

Sesekali hadir di majelis yang bukan biasanya kita datangi, barangkali memberi kita satu sudut pandang atau fahaman baru yang berarti. Seperti yang terjadi pada suatu hari di abad kedua Hijri.

Seusai menunaikan manasik, berkumpullah 3 'ulama ahli hadits dari 'Iraq. Mereka adalah Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad ibn Hanbal, dan Yahya ibn Ma’in. Mereka menuju halaqah-halaqah di sekeliling Baitullah. Biasanya mereka menulis hadits dari Sufyan ibn Uyainah dan Abdurrazzaq ash-Shan’ani, penyusun al-Mushannaf.


Namun, di ambang pintu Masjidil Haram, pandangan mereka tertuju pada suatu majelis yang diasuh oleh seorang pemuda berwibawa. Tampak seusia mereka, pemuda itu duduk dengan anggun di kursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang. Para penyimaknya ada dari kalangan muda dan tua, besar dan kecil, kaya dan papa, pejabat maupun kaum jelata. Para hadirin itu bergantian dengan tertib menanyakan berbagai macam persoalan kepadanya.


“Siapakah pemuda ini?”, tanya mereka. “'Alimnya Quraisy, Muhammad bin Idris”, jawab seseorang.

Selama ini ketiganya memang mendengar namanya yang masyhur, namun baru kali ini mereka melihatnya. Masih muda, menarik, dan penuh adab. Dari ketiganya, Ahmadlah yang paling antusias dan bergegas mencari tempat untuk duduk menyimak.

“Celaka kamu, duhai Ahmad,” tegur Ishaq, “Akankah kamu tinggalkan majelis Sufyan ibn Uyainah dan para masyayikh lainnya demi pemuda ini?”

“Diamlah,” ujar Ahmad sambil berisyarat, “Jika kita tak mendapati hadits Rasulullah dengan sanad yang dekat, barangkali masih mudah kita mengambilnya dengan sanad yang lebih panjang. Tapi jika kita kehilangan lelaki ini, kita mungkin takkan berjumpa dengan yang semisal dia selama-lamanya.”

Melihat kesungguhan Ahmad, kedua temannya pun ikut duduk.

Di antara mereka bertiga, adalah Yahya yang mengkhususkan dirinya dalam penilaian terhadap para perawi hadits; apakah ucapannya dapat diterima ataukah selayaknya ditolak. Kelak kepeloporan dan kepakaran beliau dalam ilmu Al Jarh wat Ta’dil ini mendapat penghargaan yang tinggi. Hari itu, melihat sang mu'allim muda, naluri penelitian dan telisiknya bangkit. Maka dia berkata, “Aku akan mengujinya!”

“Aduhai,” sahut Imam Ahmad khawatir tentang ketaksopanan mereka, “Apa yang akan kamu lakukan?”

“Akan kutanyakan tentang hadits Nabi, ‘Biarkan burung dalam sarangnya!'”, tegas Yahya. “Adapun dirimu, apa yang kamu lakukan dengan hadits itu?”, tegur Ahmad.

“Sepahamku,” Yahya menjawab, “Biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Mendengar jawaban temannya itu, Ahmad tersenyum dan menggelengkan kepala, sebab takwil itu sebenarnya berasal dari pemahamannya semata. Melihat kedua kawannya bersitegang, Ishaq berkata, “Biarkan aku yang menanyainya!”

“Wahai Mu'allim Muththalibi!”, panggilnya.

“Ya, wahai 'Alimnya negeri Khurasan!”, sahut pemilik majelis yang ternyata mengenalinya sembari tersenyum ramah dan mengangguk tanda hormat. Lalu Ishaq menanyakan tentang hadits itu. Yang ditanya tersenyum lagi dengan penuh kerendahan hati.

“Aku mendengar bahwa sahabat kalian, Ahmad bin Hanbal,” ujarnya, “Menakwilkannya sebagai, biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.”

Mendengar itu, Imam Ahmad merasa sangat malu. Beliau menunduk tersipu.

“Adapun aku,” sambung beliau, “Mendapatkan hadits itu dari guru kami, Sufyan ibn Uyainah. Beliau membacakannya di tengah-tengah kami di majelisnya di Masjid ini. Ketika itu, aku masih berusia kira-kira 10 tahun. Lalu ada seseorang yang menanyakan maksud hadits itu kepada beliau."

"Mendengar soalan itu, beliau menggigil bagaikan burung yang terjebak dalam badai. Beliau amat ketakutan dan menjawab dengan gemetar, ‘Demi Allah, aku tak tahu apa maksud hadits ini. Ya Allah, ampunilah hambaMu yang bodoh ini, yang tak mengerti apa yang dia katakan tentang sabda NabiMu!’ Beliau mengulang-ulang kalimat itu dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin membasahi tubuhnya.

Melihatnya, aku pun berkata, "Rahimakallah, ya Aba Muhammad."

"Maka", lanjutnya, "‘Ibnu 'Uyainah menggamit tanganku dan mendudukkanku di samping kursinya. Beliau
berkata, ‘Wahai anakku, engkau berasal dari Quraisy. Engkau adalah bagian dari kerabat Rasulullah. Sungguh engkau lebih memahami tentang keadaan orang Arab dan maksud sabda Nabi ini. Ajarilah kami apa maknanya!'”

Maka saat itu dengan penuh ta’zhim sang mu'allim membahas takwilnya. Beliau berkata, “Dahulu orang Jahiliyah, jika hendak bepergian, maka mereka meramal safarnya dengan Thiyarah, yakni menggunakan burung. Mereka menangkap seekor burung, lalu melepaskannya lagi dengan terlebih dahulu membisikkan mantra-mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, itu dianggap pertanda baik. Kemudian mereka akan melangsungkan perjalanannya. Namun jika burungnya terbang ke kiri atau ke belakang, itu dianggap pertanda buruk, sehingga mereka mengurungkan atau menunda keberangkatannya.

Ketika Rasulullah melihat hal ini, yakni tathayyur, masih dilakukan di kalangan sebagian orang dalam Islam, maka beliau pun bersabda pada mereka, ‘Biarkanlah burung di dalam sarangnya. Berangkatlah pagi-pagi dengan menyebut Asma Allah.'”

Semua yang hadir berdecak takjub dan memuji Allah akan ilmu Sang Guru. Ishaq tersenyum puas pada kedua rekannya seraya berkata, “Demi Allah, andai kita datang dari 'Iraq dengan berjalan kaki hanya untuk mendengar makna hadits ini semata, sungguh kita tidak rugi sama sekali!”

Imam Ahmad mengangguk. Lalu beliau menyampaikan pujian dengan menukil Surat Yusuf: 76, “Wa fauqa kulli dzī ilmin alīm.. Dan di atas setiap pemilik ilmu, masih ada yang jauh lebih berpengetahuan. ”

Mu'allim itu, kita tahu, adalah Imam Asy Syafi'i. Inilah saat perkenalan Imam Ahmad dengannya yang membuahkan persahabatan dan saling berguru, lalu faidahnya terasa hingga zaman kita.

Beberapa waktu lalu, kami di Masjid Jogokariyan amat beruntung dikunjungi oleh guru kami Ustadz Abu Nida' dan Ustadz Harun Ar Rosyid, yang bersama sesepuh kami Ustadz HM Jazir ASP membincang banyak hal. Satu yang saya ingat dari Ustadz Jazir saat itu, "Kultus dan fanatisme bisa muncul di manapun. Maka berjumpa, bicara, dan bertukar pandangan antar kita di majelis yang berbeda amatlah berharga."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar