Rabu, 02 Agustus 2017

Paris dan Kebangkitan yang Rendah Hati [1]


Beberapa dasawarsa ke depan, wajah Jerman lebih banyak mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel, wajah Prancis lebih mirim Karim Benzema

Oleh: Salim A. Fillah

Tada pengambilan yang tak ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar

Apa yang hari-hari ini terjadi di Eropa, barangkali tak terbayangkan oleh laksamana-laksamana penjelajah samudera, serikat dagangnya, para gubernur jenderal, dan raja-raja serta pemerintahan mereka yang sejak lima abad lalu bersimaharajalela mengangkuti berbagai hasil bumi dan sumber daya dunia timur. Semula rempah sahaja; lalu emas dan perak, kopi dan gula, vanili dan jarak, barang tambang dan minyak, bahkan manusia yang diperbudak.

Pada beberapa bangsa, kebudayaan dan sejarahnya turut terenggut; peradabannya musnah.

Mari bayangkan benua jelita yang nantinya dinamai Amerika, dengan penduduk asli yang sebelum kedatangan Columbus, Vespucci, Cortez, dan Pizzaro diperdebatkan sejarawan dengan angka mencengangkan; antara 12, atau 30, atau 50, atau bahkan 110 juta orang. Atau lihatlah Australia, dengan Aborigin yang sebelum kedatangan James Cook dan Flinders diperkirakan berada di kisaran 8 hingga 20 juta orang. Dan kini, puluhan ribu saja sisanya.

Keganasan penjajahan barat amat mengerikan.

Nusantara barangkali termasuk yang beruntung. Ia bukan 350 tahun dijajah, melainkan tiga setengah abad melawan penjajahan. Salah satu yang membuat bangsa ini bertahan tanpa dapat dibantah adalah Islam. Atas berkat rahmat Allah, abad sebelum kedatangan Magelhaens, D’ Albuquerque, dan Cornelis De Houtman adalah abad yang dipenuhi pekik gelora syahadat secara hampir merata di Nusantara. Maka sebagaimana banyak bangsa muslim lain di Afrika dan Asia, Islam telah menjadi ruh perlawanan yang tak dapat dipadamkan oleh para penindas dari Eropa.

Tapi tentu saja, penjajahan yang dirasakannya juga amat perih hingga ulu hati.
Barangkali melihat negara-negara yang tergabung dalam persemakmuran Britania hari ini, ada yang berkata, “Andai saja kita dijajah Inggris, bukan Belanda.” Tapi sesungguhnya, nestapa yang ditinggalkan negerinya Richard The Lionheart bagi kita tak banyak berbeda. Izinkan saya memberi contoh dengan bulan Juni 1812 yang kelam, ketika bombardemen artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando Kolonel Robert R. Gillespie menghancur-leburkan Benteng Baluwarti Yogyakarta terutama di sisi utara hingga timur serta meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang indah ini.

Sebakda itu, penjarahan oleh Legiun Infanteri ke-14 (Buckinghamshire) dalam bulan Juli yang bahkan melibatkan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, nyaris menghabiskan semua hal berharga dari Yogyakarta; emas dan perak dalam jumlah mencengangkan, pusaka-pusaka Kraton, naskah-naskah tak ternilai, aneka perhiasan, bahkan sampai kancing baju Sultan Hamengkubuwana II yang terbuat dari berlian tak luput dipreteli ketika beliau ditodong senjata di kiri, kanan, dan belakang kepala sebelum dilucuti dan dibuang ke Penang.

Daftar itu akan sangat panjang mendereti negara-negara Eropa masa kini dengan jajahan mereka dari zaman ke zaman, bukan hanya dengan kisah perampasan tapi juga pembantaian. Inggris punya 94 negeri dan wilayah jajahan, sementara Spanyol membentangkan penzhalimannya dari ujung selatan Amerika hingga tengah dan seberang Pasifik. Belanda mengangkangi Suriname di Amerika, Nusantara di Asia, hingga Afrika Selatan; adapun Prancis, Italia, dan Jerman seakan berlomba mengeruk kekayaan Afrika dan sebagian Asia Barat.

Dan hukum kesejarahan berlaku; ke mana sumber daya mengalir dan mengendap menjadi kemakmuran, ke sanalah berduyun-duyun manusia menuju.

Hampir lima abad lamanya Eropa menumpuk sumber daya dari timur dan mengendapkannya menjadi kristal-kristal kemilau yang mencahayakan peradabannya. Dengan kelimpahan itu mereka membangun katedral menjulang, istana megah, jalan-jalan lebar, pelabuhan besar, serta tentara yang ampuh. Dengan itu pula mereka menyusun filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, dan berbagai nilai yang mereka jajakan dengan semangat seakan ianya puncak keadaban insan; demokrasi, liberalisme, dan sekularisasi.

Sementara itu di bentang bumi dari Maroko hingga Merauke yang terrampok, gelap kian pekat setiap harinya. Kemiskinan dan kebodohan yang diwariskan para penganiaya Eropa, ditambah kepemimpinan penindas dari bangsanya sendiri yang masih mewarisi kelaliman penjajah, pula perang saudara yang masih menjadi permainan sebagian kekuatan Barat, lengkaplah sudah alasan berjuta manusia dari berbagai bangsa itu; Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Turki, Lebanon, Suriah, Somalia, Ethiopia, Nigeria, Afghanistan, Pakistan, India, dan Bangladesh, berbondong mereka hendak berbagi ruang hidup dengan bangsa-bangsa Eropa yang moyangnya pernah mencekikkan penindasan pada leluhur mereka.

Bukan. Ini bukan pembalasan. Ini hanya gemericik arus orang yang secara alami membuntuti derasnya aliran sumber daya yang menopang hidup ummat manusia sejagat. Para penduduk Eropa yang merasa asli dapat menyebutnya pengungsi, atau imigran. Tapi keberadaan mereka tak terelakkan.

Tiada pengambilan yang tak ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar.

Kemudian kaum pendatang itu jumlahnya tumbuh berlipat melampaui bangsa-bangsa Barat yang sayangnya justru sedang bersorai meninggalkan lembaga pernikahan dan keluarga serta mengesahkan perkawinan sejenis. Sebuah kekhawatiran atas peta kependudukan kian mencekam Eropa. Barangkali, beberapa dasawarsa ke depan, wajah Jerman sudah lebih banyak yang mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel, wajah Prancis lebih jamak seperti Karim Benzema daripada Francois Hollande, begitu pula negara di sekitarnya.

Warga Eropa sedang diuji atas nilai-nilai yang mereka gemakan sendiri sejak Revolusi Prancis; kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Akankah nilai-nilai tentang hak asasi bagi setiap insan, persamaan yang tak membedakan asal, warna kulit, dan bahasa, juga persaudaraan kemanusiaan yang melampaui batas kebangsaan menang di hadapan ego untuk mendaku “asli”, merasa “pribumi”, serta menganggap mereka yang datang sebagai gangguan, ancaman, bahkan teror?

Tentu saja, kaum muslimin sebagai bagian terbesar dari para pendatang itu juga harus menghadapi tantangan dan menjawab ujian yang lebih rumit lagi. Prof. Tariq Ramadhan mengistilahkannya sebagai bagaimana menjadi ‘Muslim Eropa’. Yakni muslim yang teguh dengan tsawabit-nya, nilai dasar yang tetap sebagai muslim dalam ‘aqidah, ibadah, dan mu’amalahnya; tapi mampu menyesuaikan yang mutaghayyirat, nilai-nilai dalam ekspresi intelektual, sosial, dan kebudayaan yang sesuai dengan lingkungan barunya di belahan bumi barat.

Bahkan dalam tuntutan agamanya, kaum muslimin sudah seharusnya bukan hanya menyesuaikan diri; melainkan datang untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dialami oleh warga Eropa. Dan saya melihat itu, salah satunya, pada sesosok Imam muda di Newcastle, Abdul Basith yang amat ramah dengan proyek Masjid Pusat Newcastle-nya yang padat nilai dakwah dan program anak-anak muda yang didukungnya dalam IDC, Islamic Diversity Center.* (BERSAMBUNG)
twitter Salim A Fillah @Salimafillah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar