Selasa, 01 Agustus 2017

DALIL


@salimafillah

Agama ini adalah agama dalil. Setiap 'amalnya harus 'ilmiyah. Dan setiap ilmunya memang sangat 'amaliyah.

Tapi hal ini tidak lalu berarti pelaksanaan dalil menafikan berbagai hal yang manusiawi; nurani, perasaan, akal, dan hubungan antar insan.


Bukankah Ibrahim 'Alaihissalaam meminta pendapat putranya padahal perintah untuk menyembelih telah nyata? Yang seperti ini mohon jangan ada yang menanggapi, "Perintah yang qath'i tak perlu memerhatikan pendapat orang."

Dan bukankah Allah menyebut sebagian kaum Ahli Kitab sebagai Al Maghdhub 'Alaihim, yang dimurkai, sebab mereka ifrath dalam beragama di atas dalil?


Kasus pelanggaran hari Sabtu, misalnya. Sebagian Mufassir menyatakan ia bukan karena mereka menangkap ikan di hari Sabtu, tapi memasang perangkap pada Jumat sore dan mengangkatnya di Ahad pagi. Hari Sabtunya mereka tetap di rumah sesuai perintah, tapi hatinya mengembara dalam khayalan tentang tangkapan berlipat, uang yang didapat, dan belanja yang gemerlap.

Dalam Fiqih, jika duabelas orang faqir berkumpul dengan makanan pokok senilai zakat al fithr untuk satu orang lalu mereka membayarkannya urut; satu menyerahkan pada sebelahnya dengan ujar, lalu si penerima membayar lagi pada orang di sampingnya, terus berrantai sampai kembali ke asal; apakah yang salah?

Ada banyak celah untuk berhelah, dan ada banyak hati yang akan keki, jika dalil yang shahih tak dibersamai cinta yang jernih.

Alkisah seorang menghadap Al Maghfurlah KH Bisri Syansuri Denanyar. Kepada Mbah Bisri dia mengadu, betapa ingin berkurban bersama dengan kakak-adiknya yang berjumlah 8 orang dengan seekor lembu. Tapi bukankah sapi hanya boleh diserikati tujuh shahibul qurban saja?

"Ya gimana ya", ujar Mbah Bisri. "Satu sapi itu menurut fekihnya hanya untuk bertujuh itu."

"Jadi meski adik saya yang paling kecil itu masih agak kecil, ndak boleh berdelapan Mbah?"

Mbah Bisri yang terkenal amat teguh memegangi dalil itu menggeleng lemah.

"Meski sapinya gemuk?"

Dengan senyum prihatin, Mbah Bisri tetap menggeleng.

"Padahal kami ingin seperti wasiat almarhum Bapak dan Ibu, selalu kompak dunia akhirat. Termasuk soal qurban, inginnya besok berdelapan masuk surga mengendarai sapi yang sama", agak basah mata lelaki berusia empatpuluhan itu. Pemahaman khas masyarakat kampung semacam ini, tak aib jika dihormati.

Lalu orang ini menghadap Almaghfurlah KHA Wahab Chasbullah.

"O tentu saja boleh", jawab Mbah Wahab yang membuat pria itu terenyak.

"Wah, boleh Mbah qurban sapi untuk berdelapan?"

"Lha yo boleh. Tapi.."

"Tapi gimana Mbah?"

"Adikmu yang paling kecil itu kan masih agak kecil ya?"

"Iya Mbah."

"Nha, kalau nanti mau naik ke sapi kan agak susah itu ya? Ngrekel-ngrekelnya itu lho.."

"Lha terus gimana Mbah?"

"Mbok kamu tambahi kambing satu ekor biar buat ancik-ancik, buat pijakan naik ke sapinya."

"Wah, siap Mbah kalau begitu."

Bukankah hakikat sebenarnya sama, masalah terselesaikan, dan tak ada hati yang kecewa? Maka ketika berita ini disampaikan kepada Mbah Bisri, beliau tersenyum dan menggumamkan Surat Yusuf ayat ke-76, "Wa fauqa kulli dzii 'ilmin 'aliim.. Dan di atas tiap pemilik pengetahuan, ada yang jauh lebih berpengetahuan."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar