Minggu, 09 Juli 2017

HAMEMAYU

HAMEMAYU
@salimafillah

Juni ini, 204 tahun lalu, sebuah kota jelita yang pernah dijuluki 'Versailles Jawa', luluh lantak.

"Dalam usaha untuk meyakinkan orang Jawa akan kekuatan Inggris", demikian ditulis oleh Tim Hannigan dalam karyanya yang apik, 'Raffles and The British Invasion of Java', "Raffles telah menyerang, menghancurkan, meneror, dan mempermalukan istana pribumi yang paling berkuasa di Jawa, yaitu Yogyakarta, pusat gemerlap seluruh warisan keajaiban dan mitologi kuno Indonesia."


Serbuan dahsyat pada 1812 ini, masih menurut Hannigan, bahkan tak berani dilakukan oleh para Gubernur Jenderal VOC dan Belanda sebelumnya, tapi akan menjadi teladan buruk bagi para penguasa kolonial hingga lebih dari seabad berikutnya.


Bombardemen artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando Kolonel Robert R. Gillespie telah menghancur-leburkan Benteng Baluwarti terutama di sisi utara hingga timur serta meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang indah ini.

Setelahnya, penjarahan oleh Legiun Infanteri ke-14 (Buckinghamshire) dalam bulan Juli yang bahkan melibatkan sang Letnan Gubernur Jenderal, nyaris menghabiskan semua hal berharga dari Yogyakarta; emas dan perak dalam jumlah mencengangkan, pusaka-pusaka Kraton, naskah-naskah tak ternilai, aneka perhiasan, bahkan sampai kancing baju Sultan Hamengkubuwana II yang terbuat dari berlian tak luput dipreteli.

Babad Bedhahing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditulis Pangeran Panular mengisahkan bencana itu dengan amat pilu.

Setengah abad kebangunan dan pembangunan yang dirintis oleh Sultan Hamengkubuwana I sejak 1756 dibumihanguskan oleh keserakahan pemerintahan peralihan Inggris. Di masa berikutnya, pengaruh budaya Barat yang lebih merusak dengan leluasa memasuki relung-relungnya.

Yogyakarta dengan jiwa perlawanannya yang khas, memang akan bertahan jauh lebih lama dari penjajahnya. Tapi terseok oleh angkara murka, tercabik oleh perang, dan kini berada di tangan generasi yang kian samar dari nilai-nilai adiluhung yang diletakkan sang pembangun, membuatnya tampak kepayahan sekaligus norak.

Bagaimana para calon pemangku amanah sebagai Wali Kota Yogyakarta ke depan memandang persoalan ini dan merumuskan rancangan karyanya bagi kota kita tercinta?

Panitia Setengah Abad Masjid Jogokariyan dan Panitia Kampoeng Ramadhan Jogokariyan mempersembahkan acara Jogokariyan Dakwah Club untuk mendengar para calon pemangku amanah ini menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya untuk Kota Yogyakarta.

Kota ini harus dikembalikan sebagai ruang hidup yang dibangun di atas poros Sangkan Paraning Dumadi seperti tergambar dari Panggung Krapyak hingga Tugu Golong-Gilig, berupa terhayatinya asal kejadian insan dan ke mana ia hendak dibawa, menuju Allah yang Maha Esa.

Kota ini juga harus dinakhodai sebuah kepemimpinan yang Hamangku (berkhidmat melayani), Hamengku (melindungi dengan kasih sayang sekaligus keadilan), dan Hamengkoni (siap bertanggungjawab atas amanah di pundaknya), serta meneguhkan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana (menambahkan segala nilai yang mempedona bagi keindahan ciptaan Allah).

Di atas itu semua, kita amat dahaga akan pembangunan sumberdaya manusianya hingga terkokohkan karakter nyawiji (menyatu), greget (penuh semangat pada kebaikan), sengguh (yakin dan meyakinkan), dan ora mingkuh (berani bertanggungjawab).

Sesuai tema besar "Membangun Kampung Indonesia" dalam peringatan Setengah Abad Masjid Jogokariyan, pada Sabtu malam Ahad 18 Juni 2016 para bakal calon Wali Kota Yogyakarta, dipandu Gurunda HM Jazir ASP akan berbincang tentang kota kita tercinta di Plaza Masjid Jogokariyan. Membangun kampung dari Masjid, sebab Yogyakarta, adalah Kampung Halamannya Indonesia.

Sugeng rawuh, sugeng mahargya, sugeng makarya, hamemayu hayuning bawana. Ahlan wa sahlan untuk hadir dan memeriahkan acara ini.

salam ta'zhim,
an. Takmir Masjid Jogokariyan

Salim A. Fillah
Ketua Panitia Peringatan Setengah Abad


pic.twitter.com/yAmZZ9VFpK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar